Rabu, 28 Agustus 2024

Pilihan Peranti Lunak Gratis untuk Merancang Fontasi

Di era digital yang semakin berkembang, kebutuhan akan desain huruf atau fontasi menjadi semakin penting, baik untuk keperluan pengembangan merek, penerbitan, desain grafis, maupun pelestarian bahasa dan aksara lokal. Merancang fontasi secara mandiri kini semakin memungkinkan dengan adanya berbagai peranti lunak gratis yang menawarkan fitur lengkap serta antarmuka yang cukup ramah pengguna, khususnya bagi pemula yang sedang mencoba hal baru. Ada beberapa peranti lunak gratis yang mungkin dapat Anda manfaatkan untuk menciptakan fontasi pertama Anda, berikut di antaranya.

FontForge
FontForge adalah salah satu peranti lunak sumber terbuka alias open source yang paling banyak dikenal dalam dunia tipografi saat ini. Perangkat ini mendukung berbagai format font seperti TrueType (TTF), OpenType (OTF), dan PostScript. Meskipun tampilannya terkesan ketinggalan zaman dibandingkan dengan perangkat lunak yang lebih modern, FontForge tetap menjadi pilihan utama karena kestabilannya dan kelengkapan fiturnya, termasuk kemampuan pengeditan vektor dan fitur skrip untuk automasi. Pengguna yang sudah terbiasa dengan dunia desain grafis atau memiliki latar belakang teknis akan melihat FontForge dari segi fleksibilitasnya dalam merancang fontasi yang rumit maupun aksara-aksara tradisional yang unik.

Unduh FontForge lewat sini:
fontforge.org/en-US/downloads

Glyphr Studio
Sementara itu, bagi mereka yang mencari peranti yang lebih ringan dan mudah digunakan, Glyphr Studio dapat menjadi alternatif nan menarik. Berbeda dengan FontForge, Glyphr Studio merupakan peranti berbasis situs web yang tidak memerlukan pemasangan pada komputer, sehingga sangat praktis bagi pengguna non-profesional atau pemula yang ingin coba-coba dan belajar merancang huruf. Antarmukanya yang modern dan intuitif membuat proses desain terasa menyenangkan. Namun, karena fokusnya pada kemudahan akses, Glyphr Studio masih memiliki keterbatasan dalam hal fitur lanjutan seperti pengaturan penjarakan huruf, sehingga lebih cocok digunakan untuk proyek fontasi yang sederhana.

Kunjungi situs Glyphr Studio di:
www.glyphrstudio.com

BirfFont
Peranti lunak lainnya yang juga cukup populer adalah BirdFont. BirdFont menyediakan antarmuka yang rapi dan ramah pengguna, dengan fitur desain berbasis vektor yang mendukung pembuatan karakter dari awal maupun modifikasi karakter yang sudah ada. Aplikasi ini juga mendukung ekspor ke berbagai format font seperti TTF dan EOT, serta memungkinkan impor dari file SVG, yang sangat berguna bagi desainer yang bekerja dengan ilustrasi atau grafis berbasis vektor. BirdFont utamanya dapat diunduh dan digunakan secara gratis, tetapi ada beberapa fitur tambahan yang khusus diberikan kepada penggunaan komersial dengan harga yang miring. Perangkat ini sangat cocok bagi desainer perseorangan maupun komunitas yang ingin mengembangkan desain fontasi khusus.

Unduh BirdFont lewat sini:
birdfont.org/download

FontStruct
Salah satu peranti lunak yang cukup sering mendapat perhatian adalah FontStruct, sebuah layanan berbasis web yang memungkinkan pengguna untuk merancang fontasi menggunakan sistem modular berbasis grid, mirip sebuah permainan digital. FontStruct menggunakan pendekatan membangun huruf dari bentuk-bentuk geometris sederhana, yang menjadikannya sangat cocok untuk pemula, pendidik, atau bahkan anak-anak yang ingin memahami dasar-dasar bentuk huruf. Setelah desain selesai, pengguna bisa mengunduh hasil fontasi dalam format TrueType. Kelebihan lain dari FontStruct adalah adanya komunitas daring yang aktif berbagi dan mendiskusikan desain huruf, menjadikannya tempat belajar yang ramah dan membangun. Namun, kekurangannya adalah keterbatasan dalam hal fleksibilitas desain, terutama jika dibandingkan dengan peranti lunak vektor seperti FontForge atau BirdFont yang memungkinkan pengguna dengan bebas menggoreskan garis ke dalam bentuk-bentuk yang eksploratif.

Kunjungi situs FontStruct di:
fontstruct.com

Calligraphr
Tak kalah menarik ada Calligraphr, yang menawarkan pendekatan berbeda dari kebanyakan peranti lunak lainnya yang sudah disebutkan di atas. Calligraphr memungkinkan pengguna mengubah tulisan/gambaran tangan mereka sendiri menjadi fontasi digital. Cara kerjanya sangat mudah: (1) pengguna mengunduh dan mencetak kertas templat (sebenarnya bisa juga langsung diedit secara digital), (2) mengisi masing-masing kotak kosongnya sesuai dengan karakter, dan kemudian (3) memindai dan mengunggahnya kembali ke situs. Dari sini, sistem Calligraphr akan mengubah karakter-karakter tulisan tangan itu menjadi berkas fontasi yang bisa diunduh dan digunakan secara digital. Versi gratisnya sudah cukup mengesankan untuk kebutuhan dasar dan main-main, meskipun versi berbayarnya menawarkan lebih banyak kontrol seperti ligatur dan karakter alternatif. Calligraphr sangat cocok untuk desainer yang ingin menciptakan kreasi fontasi dengan nuansa identitas dan ekspresi pribadi, atau untuk proyek kreatif seperti undangan, komik, hingga penciptaan merek.

Kunjungi situs Calligraphr di:
www.calligraphr.com

BitFontMaker2
Terakhir, ada juga BitFontMaker2, sebuah alat daring yang dirancang khusus untuk membuat fontasi bergaya piksel. Sarana ini memungkinkan pengguna menggambar langsung pada kotak-kotak piksel untuk membentuk huruf, dan hasilnya bisa diunduh sebagai fontasi berformat TrueType. BitFontMaker2 ideal bagi mereka yang tertarik membuat fontasi retro bergaya 8-bit, misalnya untuk permainan digital, proyek seni dan desain, atau tampilan grafis bernuansa 1970-an. Walaupun sangat terbatas dalam hal keluwesan desain—karena hanya mendukung gaya piksel—perangkat ini menawarkan cara cepat dan menyenangkan untuk merancang bentuk huruf secara sederhana.

Kunjungi situs BitFontMaker2 di:
www.pentacom.jp/pentacom/bitfontmaker2

Sabtu, 11 Mei 2024

Perjalanan Lintas Waktu Tipografi Stasiun Tugu

Pada bulan April 2024, begitu saya turun dari Ranggajati di Stasiun Yogyakarta, mata saya langsung tertuju pada suatu papan tanda yang mungkin tidak banyak orang amati. Papan tanda itu adalah papan nama Stasiun Yogyakarta Pintu Timur (keberangkatan kereta api jarak jauh) yang bertuliskan “Jogjakarta”. Untuk pertama kalinya, saya menyadari bahwa fontasi yang digunakan pada papan nama itu sudah diganti dengan yang baru, menggunakan fontasi Arial khas dunia percetakan yang “asal cepat jadi”. Hanya beberapa hari sebelumnya, tulisan masihlah menggunakan desain yang lama. Saya langsung menyayangkan hal tersebut; bukan hanya karena penggunaan fontasi Arial yang terkesan tidak memiliki cita rasa, tetapi juga tergantikannya tipografi lama stasiun Yogyakarta yang ikonik dan memiliki nilai sejarah.

Sebelum digantikan, tipografi lama pada stasiun Yogyakarta menggunakan fontasi bergaya Seni Deko (Art Deco) dengan desain melonjong dan orientasi melebar ke samping; belum teridentifikasi nama fontasi yang digunakan atau malah merupakan sebuah karya kustom. Jika dipandang, corak tipografi ini seirama dengan keseluruhan tema arsitektur Stasiun Yogyakarta yang modern tetapi memiliki sentuhan dekorasi cantik di berbagai sudutnya. Kesemua huruf di papan nama lama disetel kapital dan diakhiri dengan satu tanda titik. Penambahan tanda titik pada papan nama stasiun adalah pengaturan yang tidak lumrah dan barangkali menjadi bernilai keunikan tersendiri. Tanda titik mungkin ditambahkan oleh pembuatnya agar tampak lebih seimbang antara sisi kanan dan sisi kiri dari keseluruhan bentang papan nama.

Dari penelusuran sumber-sumber fotografi lintas zaman, sejak didirikan pada 1887, Stasiun Yogyakarta atau yang juga dikenal sebagai Stasiun Tugu telah mengganti papan namanya berkali-kali. Catatan: tahun-tahun di bawah ini adalah tahun foto diambil atau dipublikasikan dan bukan merupakan tahun berubahnya papan nama stasiun Yogyakarta.

1886
Stasiun Yogyakarta atau Stasiun Tugu terlihat belum dipasangi papan nama. Bentuk gedungnya juga terlihat berbeda dengan yang kita kenali saat ini.

Foto Stasiun Yogyakarta atau Stasiun Tugu pada kurun waktu 1886, koleksi Rijksmuseum.

1935
Stasiun Yogyakarta atau Stasiun Tugu masih belum dipasangi papan nama. Akan tetapi, bentuk gedungnya sudah sama dengan yang kita kenali saat ini.

Stasiun Yogyakarta pada 1935. Foto dari Wikimedia Commons.

1972
Stasiun Yogyakarta telah memiliki papan nama yang tipografinya hampir sama dengan tipografi yang dikenal selama ini, tetapi dengan bentuk huruf yang lebih tegas dan bersudut. Media tipografi juga terlihat berbeda, menggunakan bidang logam yang dipasang ke dinding. Ejaan yang digunakan adalah “Jogjakarta” (terbaca Yogyakarta).

Foto tampak depan Stasiun Yogyakarta dan sebuah lokomotif. Foto oleh Frank Stamford.

1980
Tipografi papan nama Stasiun Yogyakarta berganti ke jenis huruf berkait (serif) dengan warna emas dan berlatar gelap. Ejaan yang digunakan tidak lagi “Jogjakarta” melainkan menggunakan huruf Y menjadi “Yogyakarta”. Penyesuaian ejaan ini mungkin dilakukan untuk berseleras dengan Ejaan yang Disempurnakan.

Stasiun Yogyakarta pada 1980. Foto oleh Agustin Wouters via akun Twitter ikirizky__.

2000-an Awal (?)
Papan nama Stasiun Yogyakarta berganti dengan tampilan fontasi berjenis nirkait (sans-serif). Kemungkinan papan ini adalah format pakem yang juga diterapkan di stasiun-stasiun lain, lengkap dengan logo KAI lama dan angka ketinggian stasiun di atas permukaan air laut. Ejaan yang digunakan adalah “Yogyakarta”.

Tidak ada informasi waktu pada foto di atas, tetapi kemungkinan pada permulaan tahun 2000-an.
Sumber foto dari Salimah Nur.

2008
Tipografi papan nama Stasiun Yogyakarta kembali berganti. Ejaan yang digunakan kembali ke “Jogjakarta”. Rancangan utamanya terlihat mengambil inspirasi dari papan nama yang pernah digunakan pada 1970-an. Huruf-hurufnya tidak terlalu timbul dan langsung menempel ke permukaan dinding tanpa adanya papan yang menjadi alas. Tipografi ini tampaknya merupakan desain yang bertahan hingga tahun 2024 dengan beberapa kali peremajaan.

Wajah Stasiun Yogyakarta pada 2008, terdapat dua papan nama.
Foto oleh Masgatotkaca.
Terdapat papan tambahan di bagian atas bertuliskan “Stasiun Yogyakarta”. Pada foto ini digunakan dua ejaan yang berbeda secara bersamaan.

Stasiun Yogyakarta 2013, foto oleh Crisco 1492.
2024
Fontasi papan nama Stasiun Yogyakarta yang telah digunakan beberapa tahun terakhir diganti ke fontasi Arial berwarna oranye. Hal ini merupakan salah satu dampak dari proyek “beautifikasi” alias pemugaran Stasiun Yogyakarta pada tahun 2024 yang berupaya memperindah berbagai aspek arsitektural dan tata letak stasiun ini.

Fasad Stasiun Yogyakarta pada 2024 setelah bagian papan namanya mendapatkan "beautifikasi".
Sumber foto dari akun Twitter Tirta Cipeng.
Penggantian gaya tipografi papan nama stasiun ini sempat ramai diperbincangkan di media sosial lantaran dianggap tidak selaras dengan kesatuan arsitektur bangunan. Jalur5, media dan komunitas seputar angkutan kereta api, juga memberitakan penggantian ini. Penggunaan fontasi Arial yang tampak wagu di antara unsur bangunan lawas menjadi pokok utama yang hangat dibicarakan. Jika menghendaki desain tipografi yang modern, pihak KAI sebenarnya bisa memanfaatkan fontasi korporat yang telah jamak digunakan untuk keperluan papan petunjuk jalan di area stasiun, yakni Circular Std.

2024 Terbaru
Setelah mendapatkan masukan dari warganet dan mungkin pihak-pihak lainnya, tidak selang berapa lama, papan nama Stasiun Yogyakarta kembali diubah. Namun kali ini rancangan papan nama tidak mengikuti desain tipografi sebelumnya yang digunakan pada contoh 1972 atau 2008 di atas, melainkan memanfaatkan desain yang sudah lama terpajang di bagian dalam Stasiun Yogyakarta.

Tampak depan Stasiun Yogyakarta terbaru yang bertahan hingga saat ini.
Sumber foto @hrpsatya. 
Desain sama persis mengacu pada tipografi papan nama bagian dalam Stasiun Yogyakarta yang bertuliskan “Yogyakarta”, tulisan berukuran besar yang akan terbaca begitu kereta memasuki area stasiun. Tulisan ini dipasang menempel ke dinding atas kawasan pertokoan dekat ruang tunggu penumpang. Rancangan fontasi terlihat tipis dan membulat dengan rupa huruf Y yang unik. Rancangan ini merupakan pilihan yang lebih bijaksana daripada menggunakan fontasi Arial yang sebelumnya dipakai.

Selingan

Keunikan bentuk huruf Y kapital yang agak terlihat seperti huruf y kecil pada tipografi papan nama Stasiun Yogyakarta kemungkinan besar diakibatkan oleh pergantian ejaan.

Huruf Y pada papan nama ini kemungkinan besar dulunya adalah huruf J yang kemudian diberi lengan tambahan,
menyesuaikan perubahan ejaan bahasa Indonesia dari huruf J → Y. Foto oleh akun Twitter @riloop.

Jika diamati lebih dekat, huruf Y pada papan nama di bagian dalam stasiun memiliki tambahan lengan yang tidak terlihat tertempel sempurna. Hal tersebut dapat dijadikan landasan bahwa tulisan mula-mulanya adalah “Jogjakarta” (menggunakan huruf J), tetapi kemudian mendapatkan lengan tambahan sehingga huruf J akan terbaca sebagai huruf Y. Penyesuaian tersebut dilakukan kemungkinan untuk menanggapi perubahan ejaan bahasa Indonesia dari Ejaan Republik yang masih kebelanda-belandaan ke Ejaan yang Disempurnakan (EYD).

Desain tipografi sering kali mampu menandai sebuah zaman. Kita bisa mengetahui kapan sebuah desain tipografi diciptakan atau era apa yang menginspirasinya. Penggunaan ulang desain tipografi warisan terdahulu untuk papan nama Stasiun Yogyakarta dapat dipahami sebagai upaya untuk mengingat dan menghadirkan kembali citra yang lebih sesuai dengan gaya arsitektur keseluruhan bangunan yang klasik. Dekorasi, kaca patri, tipografi, dan semua unsur menyatu bercerita kepada siapa yang mau melihat lebih dekat untuk melalui sebuah perjalanan waktu ketika memasuki Stasiun Tugu.

Minggu, 18 Februari 2024

Sejarah Ejaan Latin Bahasa Madura

Bahasa Madura merupakan bagian yang tak terpisahkan dari warisan budaya masyarakat Madura. Bahasa rumpun Austronesia ini merupakan salah satu dari sedikit bahasa di Indonesia yang memiliki tradisi tulis yang kuat. Dalam sejarahnya, masyarakat Madura telah melahirkan banyak karya sastra yang ditulis dalam aksara Madura (aksara turunan dari aksara Jawa yang dimodifikasi) dan juga aksara Pèghu (aksara turunan dari aksara Arab yang dimodifikasi). Meskipun demikian, kedua aksara tersebut telah jarang digunakan. Saat ini bahasa Madura hampir keseluruhannya ditulis menggunakan aksara Latin, mengikut kebiasaan nasional Indonesia yang menggunakan alfabet ini.

Aksara Latin untuk bahasa Madura diperkenalkan sejak zaman penjajahan Belanda. Penulisan bahasa Madura menggunakan ejaan Latin pertama kali tercatat dalam buku karya H.N. Kiliaan, Madoereesch Spraakkunst (Tata Bahasa Madura) yang terbit pada 1897. Hal ini sekaligus menandakan titik permulaan penggunaan aksara Latin untuk menuliskan bahasa Madura yang sebelumnya lebih umum ditulis dalam aksara Carakan Madhurâ atau Pèghu (Pegon). Carakan Madhurâ diadopsi dari aksara Jawa (Hanacaraka) dan Peghu atau Pèghun (Pegon) diadopsi dari aksara Arab dengan menambahkan beberapa huruf untuk mewakili bunyi yang dijumpai dalam bahasa Madura.

Pada abad ke-20, penulisan ejaan Latin untuk bahasa Madura semakin berkembang dengan adanya Practisch Madurees–Nederlands Woordenboek yang diterbitkan pada 1913, sebuah kamus yang cukup panjang karya P. Penninga dan H. Hendriks. Mereka menggunakan ejaan bahasa Madura yang berbeda dengan milik Kiliaan.

Upaya pembuatan dan pembakuan ejaan bahasa Madura selanjutnya datang berpuluh tahun kemudian yang diprakarsai oleh orang-orang Madura sendiri. Lokakarya atau sarasehan bahasa Madura di Pamekasan yang diselenggarakan pada tanggal 28-29 Mei 1973 merumuskan “Ejaan Bahasa Madura yang Disempurnakan.” Pembakuan ini berisi pedoman penulisan huruf dan kata dalam bahasa Madura yang salah satunya menjadi acuan untuk pengajaran di sekolah-sekolah Madura. Pedoman ini kemudian mengalami beberapa kali revisi sejak dirumuskan pertama kali, yakni pada 1992 dan 2002. Sementara itu, Kongres Bahasa Madura I yang digelar pada 15-18 Desember 2008 di Pamekasan mengusulkan agar ejaan bahasa Madura kembali diperbaiki. Pedoman umum Ejaan Bahasa Madura Yang Disempurnakan Edisi Revisi terbit pada 2012 di Sumenep yang menjadi pembaharu untuk ejaan keluaran 2002.

Di sisi lain, pada 1998 (atau 1988?), para begawan bahasa Madura, M. Irsyad, Muchram, Hawari, dan R. K. Krisnadi pernah mengusulkan ejaan yang bernama Ejaan Madura Tepat Ucap atau disingkat EMTU melalui terbitan makalah. Ejaan ini menyoroti keunikan-keunikan fonem bahasa Madura yang diwujudkan dalam penggunaan aksen pada huruf-huruf tertentu. Tata tulis EMTU diperbarui lagi pada tahun 2004 dan telah digunakan di beberapa kamus bahasa Madura, salah satunya Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia oleh Adrian Prawira.

Perbandingan ejaan dari waktu ke waktu:

* Ṭṭ digunakan di Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia (Adrian Pawitra, 2009) dan Kamus Bahasa Madura-Indonesia karangan Tim Pakem Maddhu (2008), sedangkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Madura Yang Disempurnakan Edisi Revisi (2012) menggunakan konsonan rangkap “th” untuk simbol yang berbunyi /ʈ/ seperti pada kottha, ketthok, dan thongthong.

Pada zaman sekarang, penulisan ejaan Latin bahasa Madura masih perlu disosialisasikan lantaran masyarakat umum masih enggan menuliskan aksen atau diakritik khas bahasa Madura. Padahal, penggunaan diakritik khas bahasa Madura ini tidak hanya menentukan ketepatan bacaan tetapi juga bisa menjadi ciri khas dari tulisan berbahasa Madura.

Referensi:
Kiliaan, H.N. Madoereesch-Nederlandsch Woordenboek (1904)
Pawitra, Adrian. Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia (2009)
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Madura Yang Disempurnakan Edisi Revisi (2012)

Artikel ini ditulis berdasarkan kiriman Wikimedia Indonesia di media sosial dengan perubahan-perubahan.