Sebelumnya dalam tulisan Dua Arah Inspirasi,
diketahui bahwa inspirasi dalam mendesain bentuk huruf datang dari
dua arah, yakni dengan melihat huruf dan melihat yang bukan
huruf. Dalam perancangan fontasi dengan ilham dari sesuatu yang
bukan huruf, perancang-perancang Indonesia tidak pernah kehabisan
sumber inspirasi.
Kekayaan rupa Indonesia tersebar dari Sabang
sampai Merauke, dari Miangas sampai pulau Rote. Jumlah suku di
Indonesia yang mencapai ratusan menandakan pula banyaknya khazanah
budaya rupa yang dimiliki oleh orang-orang Indonesia. Masing-masing
suku tersebut tentu memiliki jati diri dan ciri khas dalam mewujudkan
gagasan-gagasan melalui seni rupa, entah itu seni bangunan, ukir,
pahat, lukis, patung, atau pun kriya.
Salah satu pembeda yang mewarnai bentang dunia
tipografi dan rancang huruf di Indonesia adalah penerjemahan hasil
kerajinan atau kriya menjadi sesuatu yang agak jauh dari hal tadi,
yaitu desain huruf. Sejumlah perancang huruf mengambil kriya hasil
kebudayaan suku tertentu di Indonesia˗˗
pada umumnya suku dimana si desainer berasal˗˗untuk
diejawantahkan menjadi bentuk-bentuk huruf yang tetap jelas dan
terbaca.
Penerjemahan di antara benda-benda seni rupa dan
desain ini menjadi mungkin karena seni rupa dan desain dipandang
selayaknya manusia menggunakan bahasa. Bahasa dari seni rupa dan desain
umumnya disebut dengan bahasa rupa. Bahasa rupa, selayaknya bahasa
yang dipakai untuk bercakap-cakap sehari-harinya, memiliki sejumlah mutu; seperti
manasuka, memiliki susunan dan beraturan.
Bahasa rupa adalah sekumpulan aturan-aturan dalam
memperlakukan unsur-unsur manasuka dari seni rupa dan desain, yakni
titik, garis, bidang, warna dan tekstur. Dalam hal penerjemahan kriya
menjadi desain huruf ini, agaknya unsur warna tidak menjadi
pertimbangan, dan cenderung mengedepankan unsur bentuk atau bidang di antara
unsur-unsur yang lain.
Kecakapan inilah yang digunakan oleh para
perancang huruf untuk mengalihrupakan kriya menjadi, yang tak
diduga-duga, sebuah fontasi. Hal ini tentu meminta kecermatan seorang
desainer dalam mengamati kedua belah rupa. Berikut ini dihadirkan
sejumlah contoh alih rupa kriya [dan/atau wujud seni rupa lainnya] menjadi
sebentuk fontasi; beruntun dari pengejawantahan yang paling kasap hingga yang paling halus, dalam arti derajat kekentaraan inspirasi
kriya awal dalam ketampakan fontasi.
Batik Dayak Font oleh Sutrisno Budiharto, tampaknya menggunakan dasar Arial Black yang diisi dengan pola khas suku Dayak. Rancangan ini terbilang kasap karena bentuk kriya tidak memengaruhi bentuk hurufnya, melainkan sekadar isian saja. Sutrisno Budiharto juga menggunakan cara perancangan serupa untuk fontasi Batik Font dan Asmat Font.
Parangrusak terilhami oleh pola batik dengan nama yang sama. Imam Zakaria, desainernya, mengambil bentuk-bentuk dalam motif batik Parangrusak untuk kemudian diterapkan pada fontasinya ini. Pada rancangan ini, tampak kriya sudah memengaruhi bentuk huruf-hurufnya, sehingga mendapatkan kesan tengah-tengah di antara kriya batik dan fontasi pampangan (display).
Lapiah Tigo karya Mulya Hari Vano terinspirasi dari ukiran khas Minangkabau. Lapiah Tigo berarti jalin tiga, dimana sulur-sulur tumbuhan berkelindan menjadi satu kesatuan. Mulya berhasil mendapatkan kesan Lapiah Tigonya dengan tetap mempertimbangkan kejelasan huruf.
Tapis rancangan Monica Cathlin terinspirasi dari kain khas Bandar Lampung yang memiliki pola-pola yang khas pula. Tapis terlihat sangat indah dengan aturan-aturan yang ajek; tiap tarikan utama horizontal menggunakan liku-liku, dan lalu menggunakan tarikan tipis melengkung untuk membentuk huruf.
Batik Dayak Font oleh Sutrisno Budiharto, tampaknya menggunakan dasar Arial Black yang diisi dengan pola khas suku Dayak. Rancangan ini terbilang kasap karena bentuk kriya tidak memengaruhi bentuk hurufnya, melainkan sekadar isian saja. Sutrisno Budiharto juga menggunakan cara perancangan serupa untuk fontasi Batik Font dan Asmat Font.
Selembayung oleh Rafni Dewi Lestari, terinspirasi dari hiasan atap khas Melayu Riau yang sarat makna. Bentuk huruf menjadi agak sukar terbaca pada beberapa hurufnya sebab lengkung ukiran Salembayung yang cenderung dipertahankan meskipun pada huruf-huruf bersiku seperti K, L dan W.
Parangrusak terilhami oleh pola batik dengan nama yang sama. Imam Zakaria, desainernya, mengambil bentuk-bentuk dalam motif batik Parangrusak untuk kemudian diterapkan pada fontasinya ini. Pada rancangan ini, tampak kriya sudah memengaruhi bentuk huruf-hurufnya, sehingga mendapatkan kesan tengah-tengah di antara kriya batik dan fontasi pampangan (display).
Lapiah Tigo karya Mulya Hari Vano terinspirasi dari ukiran khas Minangkabau. Lapiah Tigo berarti jalin tiga, dimana sulur-sulur tumbuhan berkelindan menjadi satu kesatuan. Mulya berhasil mendapatkan kesan Lapiah Tigonya dengan tetap mempertimbangkan kejelasan huruf.
Tapis rancangan Monica Cathlin terinspirasi dari kain khas Bandar Lampung yang memiliki pola-pola yang khas pula. Tapis terlihat sangat indah dengan aturan-aturan yang ajek; tiap tarikan utama horizontal menggunakan liku-liku, dan lalu menggunakan tarikan tipis melengkung untuk membentuk huruf.
FTF Indonesiana Bramanangkoe didesain oleh Abdul Hafiz Hilman [Fizzetica TypeFoundry Indonesia]. Penerapan inspirasi wayang dilakukan dengan cukup detail dan halus di sekujur bentuk huruf [tanpa melihat desain lowercase dengan tongkat]. Hal itu bisa dilihat pada kontras huruf, lengkungan-lengkungannya, potongan-potongan dan ujung-ujung hurufnya.
Lambang Visit Indonesia yang diprakarsai oleh Kementerian Pariwisata bekerjasama dengan tim desainer rekanan kementerian menghasilkan tipografi yang sangat patut dipuji, sebab bagaimana pun tampak ke-Indonesia-an pada bentuk huruf yang diciptakan, meskipun tidak diketahui secara langsung kriya dan hasil kesenian apa yang menginspirasi bentuk-bentuknya.