Indonesia, meski memiliki banyak aksara asli, setia menggunakan aksara Latin dalam segala urusan literasinya, mulai dari label informasi nilai gizi hingga baliho raksasa di jalan raya. Di pentas Asia, Afrika, dan Eropa, hal ini telah menjadikan Indonesia sebagai negara pengguna aksara Latin terbesar. Sementara itu, jika diukur dari seluruh negara di dunia, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Amerika Serikat. Aksara daerah, seperti aksara Jawa, Sunda, dan Bugis, memegang peran yang sangat terbatas, tetapi tidak bisa dikatakan hilang sama sekali.
Sebagai pasar aksara yang besar dan, sampai pada titik tertentu, beragam, Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan menarik. Salah satu titik yang layak untuk disorot adalah ketika sejumlah perusahaan percetakan didirikan di Hindia Belanda. Pada paruh kedua abad ke-19, puluhan surat kabar terkemuka lahir di berbagai kota besar di Hindia Belanda dengan mutu cetakan yang semakin baik dan bahasa yang bermacam-macam. Pada tahun 1870 saja, terdapat setidaknya 107 percetakan di seluruh Hindia Belanda (Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1995:207-208). Besarnya industri penerbitan dan percetakan di tanah air ini membuka kesempatan bagi pemasok mesin cetak dan desain huruf Eropa untuk memasarkan dagangannya di Hindia Belanda.
|
Peti-peti kiriman bertuliskan Lettergieterij „Amsterdam” v/h Tetterode tiba di pelabuhan Batavia/Jakarta [gambar via Librariana].
|
Peluang ini telah dilihat sendiri oleh Tetterode, pendiri Lettergieterij Amsterdam, ketika melawat ke negeri jajahan, Hindia Belanda, dan negeri-negeri lainnya di Asia. Lettergieterij Amsterdam atau lengkapnya Lettergieterij „Amsterdam” voorheen N. Tetterode adalah perusahaan huruf (type foundry) kenamaan Belanda yang menjadi salah satu dari dua pemain besar dalam industri desain huruf Belanda dengan Koninklijke Joh. Enschedé sebagai pesaingnya. Kemudian Lettergieterij Amsterdam di samping memproduksi beragam desain huruf aksara Latin, juga merancang berbagai desain huruf untuk menuliskan bahasa-bahasa di Timur: Tionghoa, Jepang, Jawa, Bugis-Makassar, Arab-Melayu, hingga Batak. Hal ini lantas menjadi suatu keahlian yang dikenal baik dari perusahan tersebut. Permintaan dari Landsdrukkerij di Batavia pun berhasil mereka dapatkan. Banyak percetakan-percetakan di Nusantara mendapat pasokan mesin cetak dari Lettergieterij Amsterdam. Salah satunya yang tercatat adalah Bali Simbunsya yang kini menjadi PT. Percetakan Bali dan Sekolah Tehnik Percetakan (Grafische School) Malang yang kini menjadi SMK Negeri 4 Malang.
|
Buku Proeven van Oostersche Schriften yang berisikan cetak pruf aksara-aksara Timur, di antaranya Tionghoa, Koptik, Ibrani, Makassar, dan Mandailing [gambar via British Library].
|
|
Ketampakan halaman 109 dari spesimen huruf oleh Lettergieterij „Amsterdam” voorheen N. Tetterode, 1910 [foto via Alphabettes]. |
|
Contoh cetakan aksara Jawa dan Tionghoa bikinan Lettergieterij Amsterdam [gambar via Wikimedia Commons].
|
Pada 1919, Lettergieterij Amsterdam membuka anak perusahaan di Batavia (kini Jakarta), Hindia Belanda. Jakarta merupakan satu-satunya cabang dari perusahaan ini di luar negara-negara Barat: Brussel (Belgia), New York (Amerika Serikat), dan Paris (Perancis). Meskipun demikian, hanya cabang Brusselnyalah yang memiliki alat produksi huruf sendiri, cabang lainnya berperan dalam lingkup perdagangan saja. Berselang beberapa tahun, cabang Surabaya juga dibuka sebagai perpanjangan anak perusahaan di Batavia. (Middendorp, 2004:86; Lane dan Lommen, 1998:33).
|
Buku
tentang alat dan bahan penjilidan, di sampul menyebut beberapa cabang
Lettergieterij Amsterdam: Amsterdam, Rotterdam, Den Haag, Batavia
(Jakarta) dan Surabaya [gambar dari Koleksi Barang Djadoel].
|
|
Beberapa huruf keluaran Lettergieterij Amsterdam yang mungkin pernah populer di Indonesia, dicuplik dari artikel Grafika (Tjetak-mentjetak) oleh J. K. Nelwan, Mimbar Penerangan edisi Februari 1952.
|
Keadaan mulai berubah ketika Indonesia meraih kemerdekaan. NV Lettergieterij „Amsterdam” v/h Tetterode pada 1957 dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia dan berubah nama menjadi PT Lettergieterij Amsterdam v/h Tetterode (Djojohadikusumo, 1972:228). Kemudian, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 71 Tahun 1961 tentang Pendirian Perusahaan Negara Sinar Bhakti, perusahaan Lettergieterij Amsterdam dilebur ke dalam PN Sinar Bhakti bersama empat perusahaan lainnya. Pada 1964, perusahaan ini dibubarkan dan dialihkan menjadi PN Dharma Niaga. Memasuki era Orde Baru, pada 1970, perusahaan ini berubah bentuk menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) Dharma Niaga. Penggabungan perusahaan kembali terjadi pada tahun 2003, PT Dharma Niaga, PT Tjipta Niaga, dan PT Pantja Niaga dilebur di bawah satu nama PT Perusahaan Perdagangan Indonesia yang eksis hingga saat ini.
|
Kiri: Gedung Lettergieterij „Amsterdam” v/h Tetterode di Batavia pada 1941 ketika menyelenggarakan pameran grafis [foto oleh KITLV]. Kanan: PT PPI, Jl. Abdul Muis, Jakarta, 2017 [foto oleh Bintoro Hoepoedio]. |
DAFTAR PUSTAKA- Djojohadikusumo, Sumitro. 1972. Kebidjaksanaan di bidang ekonomi perdagangan. Jakarta: Jajasan Penjuluh Penerangan Perdagangan.
- Departemen Penerangan Republik Indonesia. 1995. Almanak Grafika Indonesia 1995.
- Middendorp, Jan. 2004. Dutch Type. Rotterdam: 101 Publishers
- Lane, John A., dan Mathieu Lommen. 1998. Dutch typefounders’ specimens. Amsterdam: De Buitenkant