Minggu, 18 Februari 2024

Sejarah Ejaan Latin Bahasa Madura

Bahasa Madura merupakan bagian yang tak terpisahkan dari warisan budaya masyarakat Madura. Bahasa rumpun Austronesia ini merupakan salah satu dari sedikit bahasa di Indonesia yang memiliki tradisi tulis yang kuat. Dalam sejarahnya, masyarakat Madura telah melahirkan banyak karya sastra yang ditulis dalam aksara Madura (aksara turunan dari aksara Jawa yang dimodifikasi) dan juga aksara Pèghu (aksara turunan dari aksara Arab yang dimodifikasi). Meskipun demikian, kedua aksara tersebut telah jarang digunakan. Saat ini bahasa Madura hampir keseluruhannya ditulis menggunakan aksara Latin, mengikut kebiasaan nasional Indonesia yang menggunakan alfabet ini.

Aksara Latin untuk bahasa Madura diperkenalkan sejak zaman penjajahan Belanda. Penulisan bahasa Madura menggunakan ejaan Latin pertama kali tercatat dalam buku karya H.N. Kiliaan, Madoereesch Spraakkunst (Tata Bahasa Madura) yang terbit pada 1897. Hal ini sekaligus menandakan titik permulaan penggunaan aksara Latin untuk menuliskan bahasa Madura yang sebelumnya lebih umum ditulis dalam aksara Carakan Madhurâ atau Pèghu (Pegon). Carakan Madhurâ diadopsi dari aksara Jawa (Hanacaraka) dan Peghu atau Pèghun (Pegon) diadopsi dari aksara Arab dengan menambahkan beberapa huruf untuk mewakili bunyi yang dijumpai dalam bahasa Madura.

Pada abad ke-20, penulisan ejaan Latin untuk bahasa Madura semakin berkembang dengan adanya Practisch Madurees–Nederlands Woordenboek yang diterbitkan pada 1913, sebuah kamus yang cukup panjang karya P. Penninga dan H. Hendriks. Mereka menggunakan ejaan bahasa Madura yang berbeda dengan milik Kiliaan.

Upaya pembuatan dan pembakuan ejaan bahasa Madura selanjutnya datang berpuluh tahun kemudian yang diprakarsai oleh orang-orang Madura sendiri. Lokakarya atau sarasehan bahasa Madura di Pamekasan yang diselenggarakan pada tanggal 28-29 Mei 1973 merumuskan “Ejaan Bahasa Madura yang Disempurnakan.” Pembakuan ini berisi pedoman penulisan huruf dan kata dalam bahasa Madura yang salah satunya menjadi acuan untuk pengajaran di sekolah-sekolah Madura. Pedoman ini kemudian mengalami beberapa kali revisi sejak dirumuskan pertama kali, yakni pada 1992 dan 2002. Sementara itu, Kongres Bahasa Madura I yang digelar pada 15-18 Desember 2008 di Pamekasan mengusulkan agar ejaan bahasa Madura kembali diperbaiki. Pedoman umum Ejaan Bahasa Madura Yang Disempurnakan Edisi Revisi terbit pada 2012 di Sumenep yang menjadi pembaharu untuk ejaan keluaran 2002.

Di sisi lain, pada 1998 (atau 1988?), para begawan bahasa Madura, M. Irsyad, Muchram, Hawari, dan R. K. Krisnadi pernah mengusulkan ejaan yang bernama Ejaan Madura Tepat Ucap atau disingkat EMTU melalui terbitan makalah. Ejaan ini menyoroti keunikan-keunikan fonem bahasa Madura yang diwujudkan dalam penggunaan aksen pada huruf-huruf tertentu. Tata tulis EMTU diperbarui lagi pada tahun 2004 dan telah digunakan di beberapa kamus bahasa Madura, salah satunya Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia oleh Adrian Prawira.

Perbandingan ejaan dari waktu ke waktu:

* Ṭṭ digunakan di Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia (Adrian Pawitra, 2009) dan Kamus Bahasa Madura-Indonesia karangan Tim Pakem Maddhu (2008), sedangkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Madura Yang Disempurnakan Edisi Revisi (2012) menggunakan konsonan rangkap “th” untuk simbol yang berbunyi /ʈ/ seperti pada kottha, ketthok, dan thongthong.

Pada zaman sekarang, penulisan ejaan Latin bahasa Madura masih perlu disosialisasikan lantaran masyarakat umum masih enggan menuliskan aksen atau diakritik khas bahasa Madura. Padahal, penggunaan diakritik khas bahasa Madura ini tidak hanya menentukan ketepatan bacaan tetapi juga bisa menjadi ciri khas dari tulisan berbahasa Madura.

Referensi:
Kiliaan, H.N. Madoereesch-Nederlandsch Woordenboek (1904)
Pawitra, Adrian. Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia (2009)
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Madura Yang Disempurnakan Edisi Revisi (2012)

Artikel ini ditulis berdasarkan kiriman Wikimedia Indonesia di media sosial dengan perubahan-perubahan.