Sabtu, 11 Mei 2024

Perjalanan Lintas Waktu Tipografi Stasiun Tugu

Pada bulan April 2024, begitu saya turun dari Ranggajati di Stasiun Yogyakarta, mata saya langsung tertuju pada suatu papan tanda yang mungkin tidak banyak orang amati. Papan tanda itu adalah papan nama Stasiun Yogyakarta Pintu Timur (keberangkatan kereta api jarak jauh) yang bertuliskan “Jogjakarta”. Untuk pertama kalinya, saya menyadari bahwa fontasi yang digunakan pada papan nama itu sudah diganti dengan yang baru, menggunakan fontasi Arial khas dunia percetakan yang “asal cepat jadi”. Hanya beberapa hari sebelumnya, tulisan masihlah menggunakan desain yang lama. Saya langsung menyayangkan hal tersebut; bukan hanya karena penggunaan fontasi Arial yang terkesan tidak memiliki cita rasa, tetapi juga tergantikannya tipografi lama stasiun Yogyakarta yang ikonik dan memiliki nilai sejarah.

Sebelum digantikan, tipografi lama pada stasiun Yogyakarta menggunakan fontasi bergaya Seni Deko (Art Deco) dengan desain melonjong dan orientasi melebar ke samping; belum teridentifikasi nama fontasi yang digunakan atau malah merupakan sebuah karya kustom. Jika dipandang, corak tipografi ini seirama dengan keseluruhan tema arsitektur Stasiun Yogyakarta yang modern tetapi memiliki sentuhan dekorasi cantik di berbagai sudutnya. Kesemua huruf di papan nama lama disetel kapital dan diakhiri dengan satu tanda titik. Penambahan tanda titik pada papan nama stasiun adalah pengaturan yang tidak lumrah dan barangkali menjadi bernilai keunikan tersendiri. Tanda titik mungkin ditambahkan oleh pembuatnya agar tampak lebih seimbang antara sisi kanan dan sisi kiri dari keseluruhan bentang papan nama.

Dari penelusuran sumber-sumber fotografi lintas zaman, sejak didirikan pada 1887, Stasiun Yogyakarta atau yang juga dikenal sebagai Stasiun Tugu telah mengganti papan namanya berkali-kali. Catatan: tahun-tahun di bawah ini adalah tahun foto diambil atau dipublikasikan dan bukan merupakan tahun berubahnya papan nama stasiun Yogyakarta.

1886
Stasiun Yogyakarta atau Stasiun Tugu terlihat belum dipasangi papan nama. Bentuk gedungnya juga terlihat berbeda dengan yang kita kenali saat ini.

Foto Stasiun Yogyakarta atau Stasiun Tugu pada kurun waktu 1886, koleksi Rijksmuseum.

1935
Stasiun Yogyakarta atau Stasiun Tugu masih belum dipasangi papan nama. Akan tetapi, bentuk gedungnya sudah sama dengan yang kita kenali saat ini.

Stasiun Yogyakarta pada 1935. Foto dari Wikimedia Commons.

1972
Stasiun Yogyakarta telah memiliki papan nama yang tipografinya hampir sama dengan tipografi yang dikenal selama ini, tetapi dengan bentuk huruf yang lebih tegas dan bersudut. Media tipografi juga terlihat berbeda, menggunakan bidang logam yang dipasang ke dinding. Ejaan yang digunakan adalah “Jogjakarta” (terbaca Yogyakarta).

Foto tampak depan Stasiun Yogyakarta dan sebuah lokomotif. Foto oleh Frank Stamford.

1980
Tipografi papan nama Stasiun Yogyakarta berganti ke jenis huruf berkait (serif) dengan warna emas dan berlatar gelap. Ejaan yang digunakan tidak lagi “Jogjakarta” melainkan menggunakan huruf Y menjadi “Yogyakarta”. Penyesuaian ejaan ini mungkin dilakukan untuk berseleras dengan Ejaan yang Disempurnakan.

Stasiun Yogyakarta pada 1980. Foto oleh Agustin Wouters via akun Twitter ikirizky__.

2000-an Awal (?)
Papan nama Stasiun Yogyakarta berganti dengan tampilan fontasi berjenis nirkait (sans-serif). Kemungkinan papan ini adalah format pakem yang juga diterapkan di stasiun-stasiun lain, lengkap dengan logo KAI lama dan angka ketinggian stasiun di atas permukaan air laut. Ejaan yang digunakan adalah “Yogyakarta”.

Tidak ada informasi waktu pada foto di atas, tetapi kemungkinan pada permulaan tahun 2000-an.
Sumber foto dari Salimah Nur.

2008
Tipografi papan nama Stasiun Yogyakarta kembali berganti. Ejaan yang digunakan kembali ke “Jogjakarta”. Rancangan utamanya terlihat mengambil inspirasi dari papan nama yang pernah digunakan pada 1970-an. Huruf-hurufnya tidak terlalu timbul dan langsung menempel ke permukaan dinding tanpa adanya papan yang menjadi alas. Tipografi ini tampaknya merupakan desain yang bertahan hingga tahun 2024 dengan beberapa kali peremajaan.

Wajah Stasiun Yogyakarta pada 2008, terdapat dua papan nama.
Foto oleh Masgatotkaca.
Terdapat papan tambahan di bagian atas bertuliskan “Stasiun Yogyakarta”. Pada foto ini digunakan dua ejaan yang berbeda secara bersamaan.

Stasiun Yogyakarta 2013, foto oleh Crisco 1492.
2024
Fontasi papan nama Stasiun Yogyakarta yang telah digunakan beberapa tahun terakhir diganti ke fontasi Arial berwarna oranye. Hal ini merupakan salah satu dampak dari proyek “beautifikasi” alias pemugaran Stasiun Yogyakarta pada tahun 2024 yang berupaya memperindah berbagai aspek arsitektural dan tata letak stasiun ini.

Fasad Stasiun Yogyakarta pada 2024 setelah bagian papan namanya mendapatkan "beautifikasi".
Sumber foto dari akun Twitter Tirta Cipeng.
Penggantian gaya tipografi papan nama stasiun ini sempat ramai diperbincangkan di media sosial lantaran dianggap tidak selaras dengan kesatuan arsitektur bangunan. Jalur5, media dan komunitas seputar angkutan kereta api, juga memberitakan penggantian ini. Penggunaan fontasi Arial yang tampak wagu di antara unsur bangunan lawas menjadi pokok utama yang hangat dibicarakan. Jika menghendaki desain tipografi yang modern, pihak KAI sebenarnya bisa memanfaatkan fontasi korporat yang telah jamak digunakan untuk keperluan papan petunjuk jalan di area stasiun, yakni Circular Std.

2024 Terbaru
Setelah mendapatkan masukan dari warganet dan mungkin pihak-pihak lainnya, tidak selang berapa lama, papan nama Stasiun Yogyakarta kembali diubah. Namun kali ini rancangan papan nama tidak mengikuti desain tipografi sebelumnya yang digunakan pada contoh 1972 atau 2008 di atas, melainkan memanfaatkan desain yang sudah lama terpajang di bagian dalam Stasiun Yogyakarta.

Tampak depan Stasiun Yogyakarta terbaru yang bertahan hingga saat ini.
Sumber foto @hrpsatya. 
Desain sama persis mengacu pada tipografi papan nama bagian dalam Stasiun Yogyakarta yang bertuliskan “Yogyakarta”, tulisan berukuran besar yang akan terbaca begitu kereta memasuki area stasiun. Tulisan ini dipasang menempel ke dinding atas kawasan pertokoan dekat ruang tunggu penumpang. Rancangan fontasi terlihat tipis dan membulat dengan rupa huruf Y yang unik. Rancangan ini merupakan pilihan yang lebih bijaksana daripada menggunakan fontasi Arial yang sebelumnya dipakai.

Selingan

Keunikan bentuk huruf Y kapital yang agak terlihat seperti huruf y kecil pada tipografi papan nama Stasiun Yogyakarta kemungkinan besar diakibatkan oleh pergantian ejaan.

Huruf Y pada papan nama ini kemungkinan besar dulunya adalah huruf J yang kemudian diberi lengan tambahan,
menyesuaikan perubahan ejaan bahasa Indonesia dari huruf J → Y. Foto oleh akun Twitter @riloop.

Jika diamati lebih dekat, huruf Y pada papan nama di bagian dalam stasiun memiliki tambahan lengan yang tidak terlihat tertempel sempurna. Hal tersebut dapat dijadikan landasan bahwa tulisan mula-mulanya adalah “Jogjakarta” (menggunakan huruf J), tetapi kemudian mendapatkan lengan tambahan sehingga huruf J akan terbaca sebagai huruf Y. Penyesuaian tersebut dilakukan kemungkinan untuk menanggapi perubahan ejaan bahasa Indonesia dari Ejaan Republik yang masih kebelanda-belandaan ke Ejaan yang Disempurnakan (EYD).

Desain tipografi sering kali mampu menandai sebuah zaman. Kita bisa mengetahui kapan sebuah desain tipografi diciptakan atau era apa yang menginspirasinya. Penggunaan ulang desain tipografi warisan terdahulu untuk papan nama Stasiun Yogyakarta dapat dipahami sebagai upaya untuk mengingat dan menghadirkan kembali citra yang lebih sesuai dengan gaya arsitektur keseluruhan bangunan yang klasik. Dekorasi, kaca patri, tipografi, dan semua unsur menyatu bercerita kepada siapa yang mau melihat lebih dekat untuk melalui sebuah perjalanan waktu ketika memasuki Stasiun Tugu.

Minggu, 18 Februari 2024

Sejarah Ejaan Latin Bahasa Madura

Bahasa Madura merupakan bagian yang tak terpisahkan dari warisan budaya masyarakat Madura. Bahasa rumpun Austronesia ini merupakan salah satu dari sedikit bahasa di Indonesia yang memiliki tradisi tulis yang kuat. Dalam sejarahnya, masyarakat Madura telah melahirkan banyak karya sastra yang ditulis dalam aksara Madura (aksara turunan dari aksara Jawa yang dimodifikasi) dan juga aksara Pèghu (aksara turunan dari aksara Arab yang dimodifikasi). Meskipun demikian, kedua aksara tersebut telah jarang digunakan. Saat ini bahasa Madura hampir keseluruhannya ditulis menggunakan aksara Latin, mengikut kebiasaan nasional Indonesia yang menggunakan alfabet ini.

Aksara Latin untuk bahasa Madura diperkenalkan sejak zaman penjajahan Belanda. Penulisan bahasa Madura menggunakan ejaan Latin pertama kali tercatat dalam buku karya H.N. Kiliaan, Madoereesch Spraakkunst (Tata Bahasa Madura) yang terbit pada 1897. Hal ini sekaligus menandakan titik permulaan penggunaan aksara Latin untuk menuliskan bahasa Madura yang sebelumnya lebih umum ditulis dalam aksara Carakan Madhurâ atau Pèghu (Pegon). Carakan Madhurâ diadopsi dari aksara Jawa (Hanacaraka) dan Peghu atau Pèghun (Pegon) diadopsi dari aksara Arab dengan menambahkan beberapa huruf untuk mewakili bunyi yang dijumpai dalam bahasa Madura.

Pada abad ke-20, penulisan ejaan Latin untuk bahasa Madura semakin berkembang dengan adanya Practisch Madurees–Nederlands Woordenboek yang diterbitkan pada 1913, sebuah kamus yang cukup panjang karya P. Penninga dan H. Hendriks. Mereka menggunakan ejaan bahasa Madura yang berbeda dengan milik Kiliaan.

Upaya pembuatan dan pembakuan ejaan bahasa Madura selanjutnya datang berpuluh tahun kemudian yang diprakarsai oleh orang-orang Madura sendiri. Lokakarya atau sarasehan bahasa Madura di Pamekasan yang diselenggarakan pada tanggal 28-29 Mei 1973 merumuskan “Ejaan Bahasa Madura yang Disempurnakan.” Pembakuan ini berisi pedoman penulisan huruf dan kata dalam bahasa Madura yang salah satunya menjadi acuan untuk pengajaran di sekolah-sekolah Madura. Pedoman ini kemudian mengalami beberapa kali revisi sejak dirumuskan pertama kali, yakni pada 1992 dan 2002. Sementara itu, Kongres Bahasa Madura I yang digelar pada 15-18 Desember 2008 di Pamekasan mengusulkan agar ejaan bahasa Madura kembali diperbaiki. Pedoman umum Ejaan Bahasa Madura Yang Disempurnakan Edisi Revisi terbit pada 2012 di Sumenep yang menjadi pembaharu untuk ejaan keluaran 2002.

Di sisi lain, pada 1998 (atau 1988?), para begawan bahasa Madura, M. Irsyad, Muchram, Hawari, dan R. K. Krisnadi pernah mengusulkan ejaan yang bernama Ejaan Madura Tepat Ucap atau disingkat EMTU melalui terbitan makalah. Ejaan ini menyoroti keunikan-keunikan fonem bahasa Madura yang diwujudkan dalam penggunaan aksen pada huruf-huruf tertentu. Tata tulis EMTU diperbarui lagi pada tahun 2004 dan telah digunakan di beberapa kamus bahasa Madura, salah satunya Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia oleh Adrian Prawira.

Perbandingan ejaan dari waktu ke waktu:

* Ṭṭ digunakan di Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia (Adrian Pawitra, 2009) dan Kamus Bahasa Madura-Indonesia karangan Tim Pakem Maddhu (2008), sedangkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Madura Yang Disempurnakan Edisi Revisi (2012) menggunakan konsonan rangkap “th” untuk simbol yang berbunyi /ʈ/ seperti pada kottha, ketthok, dan thongthong.

Pada zaman sekarang, penulisan ejaan Latin bahasa Madura masih perlu disosialisasikan lantaran masyarakat umum masih enggan menuliskan aksen atau diakritik khas bahasa Madura. Padahal, penggunaan diakritik khas bahasa Madura ini tidak hanya menentukan ketepatan bacaan tetapi juga bisa menjadi ciri khas dari tulisan berbahasa Madura.

Referensi:
Kiliaan, H.N. Madoereesch-Nederlandsch Woordenboek (1904)
Pawitra, Adrian. Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia (2009)
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Madura Yang Disempurnakan Edisi Revisi (2012)

Artikel ini ditulis berdasarkan kiriman Wikimedia Indonesia di media sosial dengan perubahan-perubahan.

Kamis, 11 Januari 2024

25 Pepatah Sasak dengan Arti dan Aksara Sasak I

Peribahasa atau pepatah biasanya berupa kalimat pendek yang mengandung maksud tertentu dan telah lama digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Dalam kebudayaan Sasak, Nusa Tenggara Barat, pepatah (disebut sesenggak ᬲᭂᬲᭂᬂᬕᬓ᭄) biasanya mengandung nasihat atau pelajaran yang berharga, serta menggambarkan pengalaman hidup dan kebijaksanaan yang telah diwariskan dari masa ke masa. Pepatah adalah bagian penting dari budaya Sasak yang digunakan untuk menyampaikan pesan secara ringkas namun kuat dalam suatu pembicaraan atau tulisan. Berikut 25 contoh pepatah Sasak disertai dengan arti bahasa Indonesia dan aksara Jejawan Sasak-nya.


ᬳᬳᬶ​ᬅ᭄ᬫᭂᬦᬾᬂ​​ᬢᬸᬜ᭄ᬚᬸᬂ​​ᬢᬶᬮᬄ​ᬳᭂᬫ᭄ᬧ​ᬅ᭄ᬩᬳᬸ᭟

Aiq menéng tunjung tilah empaq bau.
Air jernih, teratai utuh, ikan tertangkap.
— Mencapai suatu tujuan tanpa membuat keributan atau menganggu pihak lain.


ᬳᬳᬶ​ᬅ᭄ᬲᭂᬕᬭᬩᬳᬾᬳᬶᬦᬶᬅ᭄ᬲᬢ᭄᭟

Aiq segare baè iniq sat.
Air laut saja bisa surut.
— Penghidupan atau rezeki itu tidak selalu sama setiap harinya.


ᬳᬮᬸᬃᬤᭂᬗᬦ᭄ᬫᬳᬸᬅ᭄ᬢᭂᬗ᭄ᬓᭀᬭᭀᬂᬳᬶᬢᬫᬳᬸᬅ᭄ᬳᬶᬲᬶ᭟

Alur dengan mauq tengkorong ite mauq isi.
Biarlah orang mendapat kulit kita mendapat isi.
— Ajakan untuk tidak ikut berbuat sesuatu yang buruk, dan tetap tertuju kepada perbuatan baik.


ᬳᬗ᭄ᬓᬢ᭄ᬳᬾᬦ᭄ᬤᬾᬩᬦᬶᬩᭂᬢᬢᬸ᭟

Angkat èndè bani betatu.
Mengangkat perisai berarti berani terluka.
— Seseorang harus berani menanggung perbuatan yang dilakukan.


ᬳᬭᬅ᭄ᬧᬦᬲ᭄ᬧᬲ᭄ᬢᬶᬳᬭᬅ᭄ᬳᬸᬚᬦ᭟

Araq panas pasti araq ujan.
Ada panas pasti ada pula hujan.
— Suka dan duka datang silih berganti dalam hidup.


ᬳᬭᬅ᭄ᬩᭂᬢᬶᬫᬸᬅ᭄ᬳᬭᬅ᭄ᬩᭂᬩᬢ᭄᭟

Araq betimuq araq bebat.
Ada yang ke timur, ada pula yang ke barat.
— Manusia mengerjakan beraneka macam hal untuk mencari penghidupan.


ᬳᬭᬅ᭄ᬢᭂᬮᬸᬳᬭᬅ᭄ᬳᭂᬫ᭄ᬧᬢ᭄᭟

Araq telu araq empat.
Ada tiga ada empat.
— Berawal dari yang sedikit bisa berkembang ke sesuatu yang lebih banyak.


ᬩᬩᬃᬕᬯᬄᬩᬩᬃᬕᬸᬩᬸᬂᬩᬭᬸᬅ᭄ᬩᭂᬢᭂᬫ᭄ᬧᬸᬄ᭟

Babar gawah babar gubung baruq betempuh.
Melalui rimba melalui gunung barulah bertemu.
— Untuk mencapai keberhasilan dibutuhkan runtutan perubahan dan pengorbanan.


ᬩᬗ᭄ᬓᭂᬲ᭄ᬤᬤᬲᬶᬅ᭄ᬫᬓᭀᬫᬳᬶᬅ᭄᭟

Bangkes dade siq mako maiq.
Sesak napas oleh tembakau enak.
— Seseorang yang memikirkan sisi nikmatnya saja, tanpa memikirkan akibat buruknya.


ᬩᬋᬂᬩᭂᬚᬸᬓᬸᬂᬩᬋᬂᬩᭂᬩᭀᬲ᭟

Bareng bejukung bareng bebose.
Bersama bersampan, bersama mendayung.
— Berusaha secara bersama-sama.


ᬘᭀᬯᬾᬅ᭄ᬩᬢᬸᬕᭂᬦᭂᬂᬩᭂᬲᬶ᭟

Cowéq batu geneng besi.
Cobek batu, lesung besi.
— Tidak merasa khawatir dengan kegagalan karena sudah direncanakan dan dipersiapkan yang matang.


ᬓᭂᬮᬶᬯᬢ᭄ᬧᬶᬦ᭄ᬢᭂᬃᬧᬬᬸᬩᭀᬗᭀᬄ᭟

Keliwat pinter payu bongoh.
Terlalu pandai akhirnya bodoh.
— Persoalan yang sesungguhnya kecil tetapi diselesaikan secara berbelit-belit dan rumit.


ᬓᭂᬤᬶᬅ᭄ᬓᭂᬤᬶᬅ᭄ᬫᬲᬶᬦ᭄ᬮᬕᬸᬅ᭄ᬫᭂᬭᬲ᭟

Kediq-kediq masin laguq merase.
Sedikit asin tetapi terasa.
— Walaupun kecil atau sedikit tetapi memiliki manfaat dan peran tertentu.


ᬳᭂᬦ᭄ᬤᬅ᭄ᬚᬳᬸᬅ᭄ᬳᬧᬶ᭞ᬩᬕᬸᬲᬦ᭄ᬚᬳᬸᬅ᭄ᬳᬳᬶᬅ᭄᭟

Endaq jauq api, bagusan jauq aiq.
Jangan membawa api, lebih baik membawa air.
— Jangan menjadi orang yang menyulut perkara, tetapi lebih baik menjadi orang yang membawa pemecahan masalah dan perdamaian.


ᬳᭂᬦ᭄ᬤᬅ᭄ᬓᭂᬭᬶᬲᬅ᭄ᬧᬕᭂᬃᬤᭂᬗᬦ᭄ ᬓᭂᬭᬶᬲᬅ᭄ᬚᬸᬮᬸᬅ᭄ᬧᬕᭂᬃᬫᬾᬲᬅ᭄᭟

Endaq kerisaq pager dengan, kerisaq juluq pager mésaq.
Jangan memperbaiki pagar orang, perbaiki dulu pagar milik sendiri.
— Jangan berusaha membetulkan kesalahan orang, tetapi betulkan dahulu kesalahan sendiri.


ᬜᬶᬳᬸᬃᬢᭀᬯᬅ᭄ᬮᬸᬯᬾᬅ᭄ᬳᬦ᭄ᬲᬦ᭄ᬢᭂᬦ᭄᭟

Nyiur toaq luèqan santen.
Kelapa tua lebih banyak santannya.
— Orang yang lebih tua lebih banyak pengalamannya.


ᬧᬳᬶᬢ᭄ᬧᬳᬶᬢ᭄ᬩᬸᬯᬅ᭄ᬧᭂᬭᬶᬬᬫᬲᬶᬳᬭᬅ᭄ᬩᬳᬸᬦ᭄ᬢᭂᬍᬦ᭄᭟

Pait-pait buaq peria masi araq baun telen.
Meski pahit rasa buah pare, tetapi masih bisa ditelan.
— Meski ucapan atau nasehat seseorang kadang menyakitkan hati, tetapi bisa mendatangkan keuntungan dan kebaikan bagi semua pihak.


ᬧᬭᬦ᭄ᬧᬸᬲᬓᬳᭂᬦ᭄ᬤᬾᬅ᭄ᬳᬶᬦᬶᬅ᭄ᬩᬶᬄ᭟

Paran pusake endèq iniq bih.
Dikira harta benda/warisan tak bisa habis.
— Harta benda berapa pun banyaknya bisa habis jika tidak dijaga dan digunakan secara bijaksana.


ᬧᭂᬧᬤᬸᬧᬶᬮᬾᬅ᭄ᬢᬦ᭄ᬤᬶᬂ᭟

Pepadu pilèq tanding.
Jagoan memilih tanding.
— Orang yang sudah berkemampuan tinggi tidak mau sembarangan memilih lawan. Ia akan memilih lawan yang setimpal.


ᬲᬫ᭄ᬧᬶᬩᭂᬢᬮᬶᬧᭂᬧᬶᬢ᭄ᬫᬦᬸᬲ᭄ᬬᬩᭂᬢᬮᬶᬭᬳᭀᬲ᭄᭟

Sampi betali pepit manusie betali raos.
Sapi terikat tali, manusia terikat tutur katanya.
— Baik buruknya manusia bisa ditentukan oleh lisannya.


ᬲᬶᬧᬢ᭄ᬳᭂᬫ᭄ᬧᬅ᭄ᬧᭂᬲᭀᬧᭀᬅ᭄ᬤᬶᬭᬶᬅ᭄᭟

Sipat empaq pesopoq diriq.
Sifat ikan yang berkumpul.
— Memiliki rasa setia kawan dan persatuan yang tinggi.


ᬲᬶᬮᭀᬅ᭄ᬭᬳᬾᬓᭂᬢᭂᬫ᭄ᬧᭀᬓᬭᬂ᭟

Siloq raè ketempo karang.
Terbakar jerami terlihat batu karang.
— Rahasia walaupun disembunyikan lambat laun akan terbuka.


ᬳᭂᬫ᭄ᬩᬾᬳᬦᬶᬂᬚᬳᬸᬫ᭄ ᬳᬶᬬᬳᬦᬶᬂᬩᭂᬦᬂ᭟

Embè aning jaum, iye aning benang.
Ke mana arah jarum ke sana pula arah benang.
— Rakyat akan mengikuti pemimpinnya jika berlaku adil dan bijaksana.


ᬢᬸᬮᬸᬲ᭄ᬓᬭᬂᬚᬭᬶᬳᬧᬸᬄ᭟

Tulus karang jari apuh.
Biarlah karang menjadi kapur.
— Seseorang yang memiliki keteguhan hati untuk mencapai tujuan dan cita-citanya.


ᬳᬸᬓᬸᬃᬮᬗᬶᬢ᭄ᬓᬤᬸᬢᬶᬚᭀᬅ᭄᭟

Ukur langit kadu tijoq.
Mengukur langit dengan telunjuk.
— Hanya menggunakan perasaan saja, tanpa menggunakan akal sehat.


Jika terdapat salah ejaan bahasa Sasak, baik aksara Latin maupun aksara Sasaknya, mohon kesediaan hati untuk membetulkan dengan mengirimkan pesan di kolom komentar. Terima kasih banyak.