Aksara Latin adalah aksara utama di seluruh kawasan Asia Tenggara Kepulauan. Mulai dari Indonesia, Malaysia, Brunei, hingga Filipina, telah beralih dari aksara lokal ke aksara Latin pada zaman penjajahan bangsa Eropa. Hal itu sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan saudari-saudari mereka di kawasan Asia Tenggara Daratan. Mulai dari Myanmar hingga Thailand (kecuali Vietnam) berhasil tidak hanya mempertahankan, tetapi juga mengembangkan aksara leluhur hingga sintas ke zaman modern. Walaupun demikian, fakta ini janganlah membuat kita lupa tentang keberadaan aksara-aksara asli yang pernah atau masih bertahan di kawasan Asia Tenggara Kepulauan, khususnya di Indonesia dan Filipina.
Aksara-aksara asli di kawasan Asia Tenggara Kepulauan ini dapat dikelompokkan menjadi sejumlah keluarga atau rumpun berdasarkan kemiripan dan kedekatan sejarah. Secara kolektif, aksara-aksara ini sering disebut sebagai “Aksara Nusantara” oleh orang Indonesia yang keseluruhannya diturunkan dari aksara pendahulunya, yakni aksara Kawi. Uli Kozok dalam buku Warisan leluhur: sastra lama dan aksara Batak membagi aksara-aksara Nusantara tersebut menjadi lima rumpun, yakni rumpun Carakan, rumpun Kaganga, rumpun Batak, rumpun Lontara, dan rumpun Filipina.
Rumpun aksara Carakan—juga dikenal dengan nama Hanacaraka—digunakan untuk menulis sejumlah bahasa di bagian selatan Indonesia, khususnya di wilayah sekitaran pulau Jawa dan pulau Bali. Hanacaraka diambil dari deret lima huruf pertama dalam aksara ini, yang secara harfiah bermakna ana caraka alias “ada utusan.”
Saat ini terdapat dua bentuk baku dari rumpun aksara Carakan, yaitu aksara Jawa dan aksara Bali. Keduanya telah terdaftar dalam Unicode. Aksara Jawa digunakan untuk menulis bahasa Jawa (sebagai aksara Jawa), bahasa Madura (sebagai Carakan Madhurâ), bahasa Cirebon (sebagai Carakan Cirebon), dan bahasa Sunda (sebagai Cacarakan Sunda). Untuk bahasa Sunda, penggunaan Cacarakan Sunda sudah jarang dijumpai karena aksara Sunda Baku sudah digunakan secara meluas dan menggantikannya. Selain bahasa-bahasa itu, bahasa Tengger dan bahasa Osing juga bisa ditulis menggunakan aksara Jawa. Sementara, aksara Bali umum digunakan untuk bahasa Bali dan bahasa Sasak di Lombok. Orang Sasak menyebut aksara ini sebagai aksara Jejawan Sasak, walaupun secara bentuk lebih mirip dengan aksara Bali saat ini.
Rumpun KagangaRumpun aksara Kaganga digunakan secara meluas di bagian selatan Pulau Sumatra, yakni dalam wilayah provinsi Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung. Kaganga diambil dari deret tiga huruf pertama dalam aksara-aksara Kaganga. Aksara dalam rumpun ini memiliki tingkat keragaman yang cukup tinggi, sehingga dari satu daerah ke daerah lain mungkin memiliki sedikit perbedaan rupa huruf dan gaya penulisan. Meskipun demikian, garis besar rancangan aksara ini masih bisa terlihat di kesemua ragamnya.
Tiga aksara yang paling umum dikenal dari rumpun aksara Kaganga adalah aksara Lampung, aksara Rejang, dan aksara Incung. Aksara Lampung digunakan untuk menuliskan bahasa Lampung yang dituturkan di provinsi Lampung. Sementara itu, aksara Rejang digunakan untuk menuliskan bahasa Rejang yang dituturkan di sebagian wilayah Bengkulu dan Sumatra Selatan. Aksara Incung digunakan untuk menuliskan bahasa Kerinci dan bahasa Melayu yang dituturkan di provinsi Jambi. Sebagian dari naskah Melayu tertua yang dikenal dengan nama Naskah Tanjung Tanah juga mengandung aksara Incung. Di luar ketiganya, terdapat banyak ragam aksara lainnya yang memiliki sedikit perbedaan dan dikenal dengan namanya sendiri, seperti aksara Ogan, aksara Komering, aksara Besemah, dan lain-lain. Upaya menyeragamkan dan membakukan aneka ragam aksara dalam rumpun Kaganga ini mungkin saja bisa dilakukan, sebagaimana yang telah dilakukan dengan aksara Batak. Sejauh ini, dari keseluruhan ragam tersebut, hanya aksara Rejang yang telah terdaftar dalam Unicode, sehingga ragam aksara Rejang menjadi lebih dikenal di mayantara.
Rumpun aksara Batak sejatinya memiliki lima ragam aksara, yakni aksara Toba, aksara Angkola-Mandailing, aksara Simalungun, aksara Pakpak-Dairi, dan aksara Karo. Akan tetapi, kelimanya kini telah dibakukan menjadi satu dan berhasil didaftarkan ke Unicode di bawah satu nama persatuan, yaitu “aksara Batak”. Walau didaftarkan dalam satu payung, keunikan masing-masing aksara (misalnya variasi bentuk) tetap dipertahankan. Upaya penyeragaman ini barangkali memiliki peluang yang lebih besar daripada rumpun Kaganga karena gaya penulisan atau tipografinya cukup seragam.
Aksara-aksara Batak digunakan untuk menuliskan seluruh rumpun bahasa Batak, kecuali bahasa Alas. Orang-orang Alas kemungkinan telah lama memeluk agama Islam dan menggantikan aksara Batak dengan aksara Arab Melayu.
Rumpun aksara Lontara terbentang dari daerah Sulawesi Selatan hingga Kepulauan Nusa Tenggara. Namanya diambil dari media tulis daun lontar yang juga biasa dijumpai di pulau Jawa atau Bali untuk menuliskan tuturan sejarah, agama, atau karangan lainnya. Rumpun aksara ini memiliki dua ragam utama, yakni aksara Makassar (disebut juga dengan Jangang-jangang) dan aksara Bugis. Akan tetapi, aksara Makassar telah lama ditinggalkan sejak abad ke-19 bahkan oleh orang-orang Makassar sendiri. Mereka kemudian ikut menggunakan aksara Bugis untuk menuliskan naskah-naskah berbahasa Makassar. Saat ini, aksara Makassar lebih lazim disebut aksara Makassar Kuno untuk membedakannya dengan aksara Bugis yang dianggap lebih baru. Aksara Lontara lantas bersinonim dengan aksara Bugis yang digunakan meluas di Sulawesi Selatan untuk menuliskan bahasa Bugis, bahasa Makassar, dan bahasa Mandar.
Aksara Lontara juga diperkenalkan hingga ke luar daerah Sulawesi Selatan. Kemungkinan pengetahuan tentang aksara ini terbawa oleh para saudagar di pelabuhan-pelabuhan Nusa Tenggara. Hubungan ini menghasilkan tertularnya budaya tulis-menulis ke pulau Sumbawa dan Flores. Ragam turunan dari aksara Lontara di Sumbawa terbagi menjadi dua, yaitu aksara Satera Jontal yang lebih bersudut untuk menuliskan bahasa Sumbawa dan aksara Mbojo yang lebih membulat untuk menuliskan bahasa Bima/Mbojo. Di pulau Flores, aksara Lontara menurunkan aksara Lota yang digunakan untuk menuliskan dua bahasa yang berhubungan erat, yaitu bahasa Ende dan bahasa Li’o. Tiga ragam Lontara di Nusa Tenggara ini pada umumnya mempertahankan rancangan khas masing-masing sekalipun dapat dikatakan masih satu kesatuan dengan aksara Lontara Sulawesi Selatan.
Sesuai namanya, rumpun aksara Filipina dapat ditemukan di Kepulauan Filipina. Ada kalanya, nama Baybayin atau Suyat digunakan sebagai istilah yang lebih lokal untuk memayungi seluruh aksara-aksara dalam rumpun ini. Sebagai catatan, Baybayin mungkin dapat dianggap tidak seinklusif nama Suyat (bandingkan dengan istilah ‘surat’ dalam bahasa Indonesia) karena terlalu condong pada kebudayaan tertentu. Sedangkan Suyat lebih sering digunakan untuk menyebut seluruh aksara historis non-Latin di Filipina, termasuk ke dalamnya aksara berbasis abjad Arab. Anggota aksara dalam rumpun ini antara lain aksara Baybayin, aksara Kulitan, aksara Haninu'o, aksara Buhid, dan aksara Tagbanwa. Aksara Baybayin seringkali digunakan sebagai istilah yang melingkupi beberapa aksara yang dianggap berasal dari satu sumber yang sama, yakni aksara Kurditan, Basahan, Badlit, dan yang paling dikenal yaitu aksara Baybayin Tagalog. Aksara Baybayin Tagalog adalah ragam paling dikenal dan paling sering terlihat karena digadang-gadang pemerintahannya sebagai aksara nasional. Kesemuanya ini dipercaya diturunkan dari aksara Kawi sebagaimana empat rumpun aksara lain yang ditemukan di Indonesia. Bukti-bukti penggunaan aksara Kawi pada masa lampau di Kepulauan Filipina dapat dilihat pada prasasti Lempengan Tembaga Laguna dan stempel gading Butuan. Rumpun aksara Filipina ragam Baybayin disebut pernah digunakan di wilayah Sulawesi Utara, khususnya Bolaang Mongondow. Meskipun benar bahasa Bolaang Mongondow merupakan rumpun bahasa Filipina, tetapi belum pernah ada bukti naskah atau bukti bendawi lainnya yang dapat mengonfirmasi penggunaan aksara Baybayin di wilayah penutur Bolaang Mongondow.