Sampel Gefigureerd Javaansch dari publikasi tahun 1893 yang merayakan hari jadi percetakan Enschedé.
|
Beberapa sampel Gefigureerd Javaansch yang didokumentasikan oleh Baerdmaker (2012)
|
Kop koran Bromartani memperlihatkan pengaruh langgam Eropa |
Setidaknya terdapat satu buku yang menggunakan langgam hias Eropa dengan lebih merata di dalam isinya: Dongéng-dongéng Pieunteungeun, kumpulan dongeng berbahasa Sunda dalam aksara Jawa yang disusun oleh Radén Haji Muhammad Musa (1822–1886). Muhammad Musa adalah salah satu pelopor kesastraan Sunda abad 19 yang menjabat sebagai penghulu besar Kabupaten Limbangan semasa hidupnya. Ia memiliki persahabatan erat dengan KF Holle (1829–1896), seorang pemilik perkebunan teh di Garut, penasehat pemerintahan Hindia-Belanda, dan peminat sastra Sunda. Berkat persahabatan eratnya dengan Holle, berbagai karya Musa–baik terjemahan, saduran, maupun tulisan yang ia gubah sendiri–dicetak dalam jumlah yang banyak oleh Landsdrukkerij Batavia. Dongéng-dongéng Pingentengen, yang dicetak pada tahun 1867, merupakan buku yang unik secara tipografis karena adanya huruf awal (drop caps) aksara Jawa dengan langgam Eropa seperti huruf patah dan gaya Toskana yang digunakan di awal setiap dongeng
Kiri: Halaman judul dalam Dongéng-dongéng Pieunteungeun. Kanan: sejumlah drop caps dari buku tersebut
|
Persilangan langgam Jawa-Eropa terutama sangat kentara pada sampel desain yang dibuat pada abad 19 M akhir. Salah satunya yang paling mencolok dapat dilihat pada adalah halaman judul dari sebuah buku yang dicetak di Semarang untuk merayakan kenaikan takhta Ratu Wilhelmina pada tahun 1898, kini disimpan di Koninklijk Huisarchief (Arsip Kerajaan Belanda). Halaman judul tersebut dicetak dengan teknik litografi dan dapat terlihat bahwa tiap baris aksara Jawanya dicetak berselang-seling antara langgam polos dan berhias yang sarat dengan pengaruh desain Eropa. Baris pertama ditulis dengan gaya huruf patah, sementara baris tiga, enam, dan delapan menggunakan gaya Toskana-koboi (western). Buku ini tampaknya dikomisikan oleh seseorang yang bernama Makuṭa dan dicetak oleh percetakan GCT van Dorp & co yang namanya dapat terlihat di pojok kiri bawah halaman.
Halaman judul buku yang merayakan kenaikan takhta Ratu Wilhelmina, 1898.
|
Halaman judul dalam sejumlah buku yang diproduksi penerbitan Tan Khoe Swie.
|
Atas: Bocah Mangkunagaran (Yasawidagda, 1937). Bawah: Baron Sakénḍér (Yudasara, 1930)
|
Periklanan Jawa abad 19 akhir hingga 20 awal juga umumnya menggunakan langgam-langgam konservatif dengan perbedaan yang halus antara satu sama lain. Hal ini mungkin dipicu format iklan pada masa itu yang seringkali padat teks–konsep logo wordmark dan pengenalan merek untuk produk sehari-hari belum menjadi praktik yang lumrah. Pada kasus semacam itu, aksara Jawa yang jelas dan mudah dibaca lebih diutamakan untuk teks yang menjelaskan keunggulan produk secara rinci. Praktik yang juga umum pada waktu itu adalah menggunakan huruf Latin untuk nama produk yang menjadi tajuk utama iklan sementara penjelasan dan badan teks menggunakan aksara Jawa
Macam-macam iklan dalam publikasi Jawa abad 19 akhir hingga 20 awal.
|
Tulisan di atas ditulis dan disumbangkan oleh Aditya Bayu Perdana.
Pranala: Instagram dan Behance.
Versi jurnal tulisan ini telah dipublikasikan dalam Manuskripta Vol 10 No 1 (2020).
0 komentar:
Posting Komentar