Dalam perkembangan desain grafis kiwari, aksara Jawa sering kali muncul dalam tampilan yang kurang bineka, kaku dan agaknya membosankan. Padahal, aksara Jawa dalam ranah tipografi memiliki sejarah panjang dan telah diekspresikan ke dalam begitu banyak wujud rupa. Salah satu kendala penjelajahan visual aksara Jawa modern adalah kurangnya rujukan dan kurangnya penghayatan terhadap sifat alamiah aksara Jawa yang berbeda dengan aksara Latin, aksara yang jauh lebih akrab di mata para perancang kita.
Susunan penulisan aksara Jawa yang tidak selalu segaris membuat proses penataan tipografinya tidak semudah dan seluwes aksara Latin. Sebagai contoh sederhana, aksara Jawa cukup sukar untuk ditulis pada pada bidang vertikal. Adanya unsur aksara Jawa yang ditulis pada bagian bawah atau atas baris utama, seperti pasangan dan sandangan, tidak memungkinkan penataan vertikal secara langsung seperti dalam tipografi aksara Latin, Siril, Tionghoa atau Korea. Penataan vertikal secara langsung, akan membuat aksara-aksara tampak berjejal dan tumpang tindih dengan pasangan dan sandangan yang menyertainya.
|
Contoh penulisan aksara Latin, Siril, Tionghoa dan Korea secara vertikal. |
Salah satu usulan cerdik atas tantangan tipografis aksara Jawa ini datang dari Aditya Bayu Perdana, seorang perancang huruf yang berfokus pada penciptaan aksara-aksara di Nusantara. Mulanya ia menyadari permasalahan desain ini setelah mengamati panji-panji bertuliskan aksara Jawa pada Festival Kebudayaan Yogyakarta 2019. Aksara Jawa yang disusun secara menurun terlihat kurang rapi, canggung, dan memiliki alur baca yang membingungkan.
|
Contoh penataan vertikal aksara Jawa secara langsung dalam perhelatan Festival Kebudayaan Yogyakarta 2019. Foto diperoleh dari video saluran Youtube Festival Kebudayaan Yogyakarta. |
Bayu kemudian menyelidiki bagaimana permasalahan tipografis ini diakali di masa lalu. Ia lantas menemukan bahwasanya beberapa abad silam, aksara Kawi (pendahulu aksara Jawa dan aksara-aksara di Nusantara lainnya) pernah ditata pada bidang vertikal seperti gagang cermin, kentongan perunggu dan prasasti batu, dengan cara yang begitu cemerlang. Contoh sejarawi dari penerapan aksara Kawi vertikal umumnya ditemukan pada langgam aksara Kawi kuadrat yang memiliki rupa huruf mengotak. Aksara-aksaranya disusun dari bawah ke atas dengan masing-masingnya diputar sekitar 30-45 derajat berlawanan arah jarum jam. Hal ini sangat meningkatkan keterbacaannya. Dengan diputarnya "balok silabis" aksara Jawa pada derajat yang tepat, sandangan dan pasangan tidak berbenturan dengan huruf di bawah atau atasnya. Ketika pembacaan berlangsung, balok silabis juga lebih mudah dikenali dan dibedakan satu per satu.
|
Contoh beberapa peninggalan budaya beraksara Kawi yang disusun secara vertikal. (dari berbagai sumber) |
|
Atas: Perumpamaan susunan aksara Kawi pada bidang mendatar. Kiri: Perumpamaan susunan aksara Kawi pada bidang menurun secara langsung, tanpa pemutaran balok. Kanan: Perumpamaan susunan aksara Kawi pada bidang menurun dengan pemutaran balok. (Gambar oleh Aditya Bayu) |
|
Perbandingan alur baca penulisan standar (kiri), penulisan vertikal tanpa pemutaran (tengah; contoh panji aksara Jawa pada Festival Kebudayaan Yogyakarta 2019) dan penulisan vertikal dengan pemutaran (kanan) yang jauh lebih mudah terbaca, rapi dan mudah dibedakan tiap baloknya. (Gambar oleh Aditya Bayu) |
Tidak perlu meniru bagaimana tabiat aksara Latin atau Tionghoa ketika disusun secara vertikal, justru nenek moyang kita telah memberikan suatu solusi praktis yang lebih sesuai dengan konteks kebudayaan kita sendiri. Bayu mangajak kita semua untuk turut mengadaptasi pemecahan masalah dalam aksara Kawi ini pada komposisi tipografi aksara Jawa dan aksara Bali modern. Susunan tipografi vertikal aksara Jawa akan tampak lebih rapi dan mudah terbaca. Dengan menerapkan komposisi tipografi ini, kita tidak hanya memiliki pemecahan masalah yang tepat, melainkan juga dapat membangkitkan kembali tradisi penyusunan huruf yang telah digunakan berabad-abad silam.