Istilah "mode" (bahasa Inggris: Fashion), jika tidak merujuk hal ihwal busana secara umum, memiliki makna yang cenderung kurang baik. Istilah ini merujuk pada rancangan yang dangkal dan berumur pendek, yang dipikirkan secara komersil dan spekulatif untuk khalayak yang cepat berubah-ubah. Selain itu, istilah ini juga bisa merujuk pada khayalan yang ditautkan pada benda-benda utiliter yang rancangan simpel dan tahan lamanya akan lebih murah dan sangkil sehingga lebih disukai karena alasan-alasan sosial.
"Gaya", di sisi lain, adalah pertanda yang
dimaknai secara baik untuk satu kesatuan prinsip-prinsip bentuk dari masa
tertentu. Kesatuan ini agaknya timbul secara alami jika prinsip-prinsipnya
tidak tercipta dari kehendak khalayak luas, melainkan dari pemikiran falsafi
elit kebudayaan, menggunakan kemampuan sosial, ekonomi dan teknis terbaik dan
termaju dari masanya. Gaya adalah gelar kehormatan yang dianugerahkan kemudian hari
bagi upaya sukses dalam menciptakan hal-hal yang benar dan bernilai abadi. Mode
sengaja mencari kesenangan-kesenangan baru dan biasanya berkehendak untuk
mengorbankan hal-hal baik yang sudah ada untuk tujuan tersebut. Gaya berasal
dari ketidaksengajaan tatkala seniman-seniman bergemelut dengan masalah-masalah
mendasar dari sebuah masa dan mencari pemecahan masalahnya. Mode menggantikan
satu sama lain tiap tahunnya, sementara gaya mengembangkan dirinya setidaknya
sepanjang genenasi. Mode, maka dari itu, hanya menjadi riak-riak kecil di
permukaan dari gelombang panjang pengembangan gaya.
Apabila mode hanya menghambur-hamburkan energi, material,
dan pemalsuan terhadap nilai-nilai budayawi adiluhung, maka kita dapat nyatakan
sekarang: tidak boleh ada mode dalam dunia desain huruf. Para pencetak harus
membatasi diri mereka dengan segelintir desain huruf saja, yang sudah terbukti mutunya,
baik untuk penggunaan paparan maupun pampangan, yang mampu menjembatani
komunikasi antara penulis dan pembaca. Trennya sekarang adalah menggunakan
desain huruf yang sederhana. Bahkan banyak orang yang berharap adanya penetapan
satu desain huruf di seluruh dunia untuk penerapan yang universal.
Sebenarnya situasinya tidak sesederhana itu, sih.
Pertanyaan sebenarnya adalah apakah generasi kita mampu menciptakan kesatuan gaya
sungguhan dengan keberagaman di dalamnya. Gaya-gaya besar dalam sejarah diciptakan
oleh dan untuk ribuan orang; gereja dan raja menentukan selera dengan tegas.
Kesenian dan desain industri hari ini adalah perkara jutaan lembaga demokratis,
kesemuanya dengan perangainya sendiri, serta latar belakang sosial dan nasional
sendiri. Di antara yang jutaan ini, kita akan sukar menemukan hanya satu gaya
tunggal saja sebagaimana istilah ini biasanya dimaknai.
Dan bahkan kalaupun ada, apakah mode lantas dianggap bukan sebagai
hasil sampingan yang tak terhindarkan dari perjuangan menuju desain kontemporer
yang―jika semuanya berjalan lancar―menciptakan gaya sejati? Mode kemudian tentu
tidak bisa bertahan untuk tujuannya sendiri, melainkan pantas disebut sebagai
peristiwa yang membarengi secara alamiah segala kegiatan desain.
Mode terdapat dalam desain ketika menyangkut murni persoalan
kebentukan, unsur perseorangan terlalu dititikberatkan. Apabila hal ini
dilakukan secara sistematis, maka hasilnya disebut mode dan apabila
(misalnya, dalam kesenian bebas) hal ini dilakukan dengan daya cipta yang tidak
memadai atau karena senimannya hanya mengejar tujuan pribadi, maka hasilnya
disebut manerisme.
Mungkin Anda akan keberatan mengenai hal ini bahwasanya
desain huruf bukanlah masalah penciptaan artistik yang mengizinkan unsur
indivisualisme, melainkan murni permasalahan desain yang utiliter, yang
seharusnya suprapribadi. Saya mohon untuk membedakannya. Dalam percetakan,
bentuk tipografi yang murni utiliter sukar ditemukan (maksud saya yang
keseluruhan bentuknya ditentukan oleh faktor-faktor seperti kejelasan, jumlah
kata dan ketercetakan). Sesuatu yang
mendekati utilitas murni baru terjadi pada situasi yang darurat, seperti
tipografi pada materi paparan dan iklan baris surat kabar, direktori nomor
telepon dan papan tanda jalan. Di luar itu, selalu ada keterbukaan, batasan
bebas di mana solusi absah yang berbeda-tetapi-setara dimugkinkan. Ada citarasa
yang masuk bersamaan dengan preferensi pribadi pembaca, alhasil ada kebutuhan
atas perubahan dan keberagaman.
Tatkala model huruf nirkait vintase 1928 dibuat, mereka
mengiranya akan bertahan selamanya. Sekali lagi, harapan yang sama juga
dirayakan untuk model huruf nirkait 1958, tetapi ujung-ujungnya juga akan
terbukti bahwa mereka hanyalah kanak-kanak pada masanya. Kita tidak perlu
memutuskan di sini apakah mereka hanyalah buatan mode ataukah pengusung gaya
sejati. Yang menjadi penting adalah bahwasanya ketika prinsip kebentukan
tunggal yang berlaku universal berusaha dicari secara serius, ketika para
perancang hanya ingin menggapai sarana komunikasi tepat guna tanpa adanya dorongan
artistik perseorangan, hasilnya memperlihatkan banyak keragaman. Bahkan hal ini
menjadi bahan perbincangan, huruf-huruf nirkait baru yang manakah yang mulai kuno
dan yang manakah yang waktunya belum tiba. Artinya: perancangnya ingin
keabsahan suprapribadi; mereka menghendaki gaya; mungkin usaha-usaha mereka
nantinya akan dianggap sebagai gaya, tetapi dalam prosesnya mereka juga
menciptakan mode dan manerisme.
Pertanyaan perihal kebebasan dalam desain huruf―dan oleh
karenanya juga pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan mode dalam produksi
tipografi―ditentukan saat ini oleh situasi yang sama sekali berbeda daripada
saat sebelum Perang Dunia II.
Di zaman 1930-an, tiap-tiap pencetak harus menawarkan
beberapa fontasi pampangan dengan potongan terbaru (apa yang disebut orang
Perancis dengan caractère de fantaisie atau dalam bahasa Inggris fancy
types), setidaknya untuk komposisi tangan dan seringkali juga untuk komposisi
mesin. Alhasil, setiap perusahaan huruf dan pabrik mesin komposisi harus
menyediakan fontasi sejenis itu dalam programnya. Dengan pengecualian, terdapat
huruf-huruf yang digambar dengan tangan secara khusus untuk garapan tertentu,
lalu ditambahkan ke dalam bentuk materi tipografi seperti gravir-foto.
Perhitungan kasar memperlihatkan bahwa dalam kurun waktu 22
tahun di antara 1918 dan 1940 terdapat sekiranya 40 perusahaan huruf dan pabrik
mesin komposisi; mereka memproduksi lebih dari ribuan rancangan asli yang tiap
rancangannya membutuhkan persiapan berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun.
Selama 24 tahun sejak 1945, kita tidak pernah mendekati jumlah produsen atau
rancangan sebanyak itu.
Di samping komposisi logam-panas, saat ini kita memiliki fotokomposisi[1]
dan reproduksi hastakarya leter yang lumayan murah dan mudah. Biaya komposisi
dengan alat logam-panas ya seperti itulah, sementara alat fotokomposisi yang
lebih mahal hanya menyediakan model huruf yang secara luas digunakan dan yang memiliki
nilai abadi. Di sisi lain, model huruf yang jarang digunakan diedarkan dalam
perlengkapan fotoleter yang murah dan sederhana atau dibeli dalam bentuk per
kata dari firma-firma tertentu, atau juga digambar secara khusus untuk garapan
tersendiri.
Hal tersebut menghasilkan hal yang kurang bagus. Pelaksanaan
yang cermat dan disiplin diri yang selalu menjadi prasyarat dalam desain huruf pada
komposisi logam-panas tidak lagi diperlukan. Mengerjakan leter untuk reproduksi
fotografis menjadi begitu mudah dan cepat, dan tekniknya tidak memiliki batasan
pada kebebasan artistik. Karenanya, model huruf mode terlihat lebih ganjil, tidak
matang, dan tidak tertib daripada yang sebelumnya. Wilayah penggunaannya pun menyusut.
Ada satu hal lain. Model huruf mode biasanya mencerminkan
tangan pribadi penggubahnya. Namun, desainer tipografis memiliki kepribadian
kreatif mereka sendiri, yang sulit menerima ungkapan bawaan asing dari
perancang fontasi lainnya. Ia memilih model huruf yang tawar. Jika ia
menghendaki kesan yang ceria, berhias-hias, atau mencolok, maka ia akan
menggunakan kekosongan ekspresi dari model huruf itu sendiri untuk kemudian ia
atur dengan cara yang ceria, berhias-hias, atau mencolok.
Beberapa model huruf awalnya merupakan mode, yang kemudian
jadi terlembagakan. Model-model huruf tersebut kini menjadi tuntutan utama bagi
setiap pencetak. Jadi, misalnya model-model huruf pada kartu litografis dan
lempengan tembaga, tulisan tangan khas Inggris, model huruf nirkait yang sempit
dan yang lebar, dll. Kita tidak lagi melihatnya sebagai model huruf mode sebagaimana
asal-asulnya dari abad ke-19 dan awal mula abad ke-20. Mereka telah menjadi
tradisional. Hal yang sama kemungkinan dapat terjadi lagi untuk model huruf yang
lebih kekinian. Dalam kasus mana pun, dampak langsung dari perkembangan ini
adalah model huruf yang telah terlembagakan untuk keperluan percetakan masyarakat
dan judul utama tadi mengakibatkan rancangan-rancangan yang lebih baru untuk
keperluan yang sama menjadi begitu berlebih-lebihan.
Ada pun faktor keempat yang mempengaruhi merosotnya penghargaan
dan penggunaan model huruf mode saat ini. Hal itu adalah dominasi sementara
dari kecenderungan lebih klasik dalam berkesenian cetak. Klasikisme ini,
seperti halnya semua pendahulunya dalam sejarah, mencari rancangan yang didasari
aturan-aturan yang tak lekang oleh waktu. Sebagaimana mahzab ini menghormati
akal budi dan kecendekiaan, tujuan huruf dianggap hanya sebatas melayani
pembacaan dan pemahaman terhadap naskah-naskah rasional secara intelektual.
Umumnya pendapat ini diutarakan dengan begini, bahwa huruf dimaksudkan untuk
dibaca; bahwasanya huruf hanya untuk komunikasi―dan "komunikasi" dalam
arti sempit adalah sebatas membuat orang-orang berakal saling berbagi gagasan.
Sebagai pengimbang dari gerakan rasionalistik ini,
romantisisme memberontak dengan amuk besar melawan kesederhanaan yang necis tersebut.
Ia melaksanakannya dengan menciptakan bentuk-bentuk yang beringas, yang lemah
atau biasa, yang sepenuhnya tidak masuk akal, yang membuatnya tampak buruk
untuk setiap mata orang "normal" dan sekali lagi mengurangi wilayah
kegunaannya.
Untuk kesemua alasan ini, jumlah konsumsi model huruf mode
prapabrikasi telah berkurang selama beberapa dasawarsa terakhir, baik dalam
artian relatif maupun mungkinkinan juga dalam hitungan total.
Apakah hal ini berarti model huruf mode telah almarhum dan
digantikan oleh satu bentuk huruf yang kekal dan absah secara universal? Tidak
sedikit pun.
Sepanjang perjalanan sejarah, huruf dan leter tidak pernah
digunakan untuk pembacaan belaka; tidak untuk sekarang dan tidak pula untuk
masa mendatang. Huruf juga mampu menjadi sebatas tanda untuk membangkitkan
gagasan dan gambar-gambar dalam kepala dan untuk mendatangkan reaksi lanjutan.
Huruf juga mampu menjadi magnet bagi mata, untuk mengarahkan
perhatian pada apa-apa yang penting.
Huruf juga mampu menjadi isi-isian hiasan dalam sebuah
bidang, murni bermain sekadar sebagai garis dan pola.
Pada kasus-kasus tersebut, kejelasan optimal dan kemudahan
dikenali tidaklah penting; bentukan huruf-hurufnya tidak perlu sederhana,
familiar, absah secara universal dan mudah diterima. Untuk tujuan-tujuan
tertentu, huruf barangkali tampak tidak jelas, tidak rasional, absah hanya pada
takaran tertentu; ya, huruf tersebut dapat pula tidak simpatik, jelek dan
memuakkan.
Dengan demikian, kita kembali pada pertanyaan ihwal mode
dalam desain huruf. Huruf tak hanya dimiliki dalam lingkungan objektif
kejelasan optimal, yang didasari oleh fakta-fakta statistik. Tidak cukup para
sikolog dan oftalmolog memaparkan bagaimana huruf seharusnya terlihat dan menyuruh
juru gambar teknis yang dungu untuk merancang huruf berdasarkan perincian
mereka. Huruf juga berada dalam lingkungan subjektif desain yang bebas untuk
memberikan kesan, tetapi hal-hal seperti itu tidak dapat diperhitungkan
sebelumnya. Oleh karenanya, bersamaan dengan desain yang bebas, akan timbul
gejala-gejala dari mode yang tak terhindarkan.
Hal ini akan berbahaya ketika kekuatan emosi merasa terancam
oleh rasionalisme garis keras dan oleh sebab itu menjadi begitu berlebih-lebihan
dalam perlawanannya. Kita harus mengakui adanya hak bagi kekuatan emosi yang
bebas dan mengizinkannya mengambil tindakan pada bidang-bidang yang tepat. Artinya:
kita harus mengakui bahwa teori dan praktik mana pun tergolong salah ketika mendaku
hanya bentuk huruf yang paling sederhana dan jelaslah sebagai satu-satunya kebenaran.
Pemikiran rasionalisme puritan seperti itu sudah lewat―dan mungkin akan
tergantikan segera oleh kekuatan irasionalisme romantik. Barangkali dalam
beberapa tahun mendatang kita akan berperang melawan ketidakadilan dari emosionalitas
artistik yang berkuasa, sambil membela hak-hak akal budi.
Apa dampak praktis yang dihasilkan dari konsep mode dalam
desain huruf?
Praktik nyata tidak boleh dicegah oleh teori yang berlaku.
Di negara-negara Barat, sebut saja kata mencolok seperti Hippies, Beatniks,
Flower Childern, Provotariat, Carnaby Street, dll., telah lama menyediakan saluran
untuk perasaan mereka dalam kenangan Art Nouveau dan disetel dalam kelompok
huruf yang keseluruhannya tidak mudah terbaca. Terbitan-terbitan Barat untuk
barang-barang mewah, juga barang-barang massal, pun tidak menghindari mode
dalam desain huruf. Logika komersial kapitalisme tidak akan mau dipandu oleh
teori komunikasi mana pun, kecuali penjualan tertinggi.
Akhirnya, sekolah seni dan sekolah percetakan masih
mengajarkan seni leter dengan semua-mua perkakas historisnya ihwal Capitalis Quadrata,
Rustik, Unsial dan Paruh-unsial, Karoling dan huruf kecil humanistik, huruf kursif
Kanselir; Renaisans, Barok dan huruf Roman klasik, Masri (Egyptian), dan nirkait; di
Jerman, di sana sini, masih diajarkan Tekstura, Fraktur, dan Swabaher; dari kesemuanya
itu, teori seharusnya dianggap sebagai sekadar kumpulan keingintahuan. Mungkin
juga hal itu hanyalah konservatisme bawaan dari semua lembaga pendidikan yang membuat
mereka melestarikan kepingan-kepingan historis sebagai teladan. Agak memalukan,
hal ini umumnya dibenarkan dengan mengemukakan bahwa berlatih dalam model-model
tersebut akan mempertajam kesadaran akan bentuk secara umum.
Namun barangkali juga benar, biarlah jelas dahulu bahwa
dalam praktiknya, ada bidang-bidang tertentu di mana seseorang masih
menggunakan lebih dari sekadar Baskerville atau model huruf nirkait.
Maka, tidaklah perlu terlalu khawatir tentang dampak dari
teori puritan dalam praktik nyata manakala masih tidak terlalu banyak perancang
yang menciptakan bentuk bebas, dan begitu pula bentuk-bentuk mode, begitu juga
dengan selera yang buruk. Mereka menciptakan huruf bersambung―huruf-huruf
berhias, terbuka, berbayang; huruf dengan goresan tangan diri yang tidak biasa―dan
mereka sadar sedang melakukan sesuatu yang terlarang. Hal itu menghalangi gaya
mereka. Kita harus meringankan perancang-perancang malang ini dari derita jiwa.
Akan pula bermanfaat bila membantu mereka yang, takut akan
teori, tidak berani membuat model hurufyang mereka ingin buat dan yang mungkin
jauh lebih cocok untuk tujuan mereka
daripada model huruf nirkait yang mereka pakai sekarang.
Mengapa pula kita tidak mengizinkan sedikit taman bermain
untuk bentuk langgam nasional? Ketika Perancis ingin mengembangkan model huruf
Nepoleonik, Inggris dengan langgam Georgiah dan Viktoriah, Jerman dengan khazanah
bentuk fraktur yang tiada habis-habisnya, maka mereka harus melakukannya tanpa
didakwa dengan tuduhan nasionalisme reaksioner. Selama bentuk langgam ini
digarap dalam semangat kontemporer, tidak boleh ada batasan untuk kegiatan
semacam itu.
Jika pintu kebebasan dalam desain huruf telah dibuka ulang, ini
tidak serta merta berarti, saya ulangi, bahwa akan ada banyak kebebasan tipografi untuk komposisi logam-panas dan untuk mesin fotokomposisi yang cepat. Hal ini,
bagaimana pun, merupakan langkah besar ke depan ketika daya cipta nyata
dibebaskan dari tekanan berat teori puritan.
__________________________
Artikel ini diterjemahkan dari "Fashion in Type
Design" dalam The Journal of Typographic Research Oktober 1969 hal.
371-377. Artikel tersebut ditulis berdasarkan pidato Dr. Gerrit Willem Ovink dalam
kongres ke-11 Association Typographique Internationale di Praha, Cekoslowakia,
pada bulan Juni 1969.
[1]
adalah salah satu cara percetakan yang mana susunan tulisan difoto untuk
kemudian dijadikan plat logam