Bahasa lisan dan tulisan memiliki perbedaan yang cukup
kentara. Dalam ilmu bahasa pun, bahasan mengenai bahasa lisan dan tulisan ini
dipisahkan dengan hati-hati. Linguistik utamanya meneliti pada lingkup bahasa
lisan, dengan pembahasan bahasa tulis yang lebih sedikit. Bahasa lisan bekerja
dengan mulut dan telinga, sementara bahasa tulis bekerja dengan tangan dan
mata. Perbedaan indrawiah ini membawa nuansa-nuansa tersendiri dalam perjalanan
dan perkembangan bahasa lisan dan tulisan.
Huruf a dalam aksara Rumi (yang dipakai dalam tulisan
ini) memiliki dua tanda grafem yang berbeda bentuknya, yakni huruf besar A dan
huruf kecil a. Sementara, huruf a kecil memiliki dua varian alograf, yakni huruf a satu tingkat dan huruf a dua tingkat (akan dibahas lebih lanjut dalam kesempatan berikutnya). Ketika dibacakan, keduanya sama-sama mewakili fonem A. Bahasa
lisan tidak mengenali perbedaan tipografis seperti ini. Keduanya menjadi sama
ketika dilafalkan.
Akan tetapi, perkara huruf besar dan huruf kecil ini tidak
pernah menjadi perkara sepele. Dalam banyak kesempatan, huruf besar dan huruf
kecil ini bisa menjadi pembeda yang bermanfaat untuk menunjukkan selisih makna yang
lumayan lebar. Telah lama dimaknai bahwa penulisan nama dsb. dengan diawali
huruf besar menjujukan rasa hormat atau kesopanan terhadap yang dituliskan itu.
Salah satu contohnya adalah penulisan sebutan-sebutan Tuhan,
seperti Allah atau Dewata, atau kata Tuhan itu sendiri. Bahkan khusus pronomina
persona -nya dan dia yang merujuk pada Tuhan wajib ditulis dengan
huruf en besar, -Nya, atau huruf de besar, Dia, meskipun berada
di tengah-tengah kalimat. Dengan membesarkan huruf pertama tiap sebutan Tuhan itu, maka kita merasa
telah turut membesarkan nama Tuhan itu sendiri.
Tidak hanya nama Tuhan, PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang diterbitkan tahun 2016, pedoman ejaan teranyar setelah EyD)
menjelaskan bahwa penggunaan huruf kecil dan huruf besar (mereka memakai
istilah huruf kapital dan non-kapital, tetapi saya kurang nyaman dengan istilah
ini) mesti diterapkan secara benar dalam pelbagai keadaan. Huruf besar
digunakan apabila:
- Huruf awal pada setiap kalimat.
- Huruf pertama setiap kata nama orang, kecuali yang berfungsi sebagai kata tugas seperti van, atau bin dan binti.
- Huruf awal pada setiap kalimat dalam petikan langsung.
- Huruf pertama setiap kata nama agama, kitab suci, dan Tuhan, termasuk sebutan dan kata ganti untuk Tuhan.
- Huruf pertama unsur nama gelar kehormatan, keturunan, keagamaan, atau akademik baik yang dituliskan di depan atau belakang nama.
- Huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat.
- Huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa.
- Huruf pertama nama tahun, bulan, hari, dan hari besar, atau hari raya, serta nama peristiwa sejarah.
- Huruf pertama nama geografi.
- Huruf pertama semua kata (termasuk semua unsur bentuk ulang sempurna) dalam nama negara, lembaga, badan, organisasi, atau dokumen, kecuali kata tugas, seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk.
- Huruf pertama setiap kata (termasuk unsur kata ulang sempurna) di dalam judul buku, karangan, artikel, dan makalah serta nama majalah dan surat kabar, kecuali kata tugas, seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk, yang tidak terletak pada posisi awal.
- Huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, atau sapaan.
- Huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan, seperti bapak, ibu, kakak, adik, dan paman, serta kata atau ungkapan lain yang dipakai dalam penyapaan atau pengacuan.
Dari
ketigabelas penjelasan pendek di atas, diketahui bahwa banyak aturan penggunaan
huruf besar ditujukan untuk memperlihatkan kesopanan atau penghormatan terhadap
sesuatu atau seseorang. Hal tersebut tidak dapat disampaikan dengan cara yang sama
pada praktik bahasa lisan. Selain itu, ada kegunaan estetis yang sekaligus
dapat berfungsi sebagai marka bagian-bagian dari naskah tulisan. Huruf besar untuk
mengawali setiap kalimat membantu kita memisah-misahkan bagian-bagian naskah
tulisan. Huruf besar dalam judul pun memiliki kegunaan estetis yang juga
mempertegas kedudukannya sebagai judul dari sebuah naskah.
Huruf
besar jamak pula digunakan dalam penulisan singkatan dan akronim, kadang bersamaan
dengan huruf kecil dan ada kalanya juga ditulis dengan huruf kecil semua. Huruf-huruf
di sini berfungsi ikonis untuk mewakili kata (atau suku kata) yang disingkat
menjadi sebuah singkatan atau akronim. Dalam pembuatannya, huruf pertama
biasanya dianggap mewakili sebuah kata. Misalnya singkatan/akronim ADGI, masing-masing
hurufnya merupakan huruf pertama dari nama lembaga Asosiasi Desain Grafis
Indonesia. Huruf A besar merupakan ikon yang paling masuk akal dari kata Asosiasi―sebagaimana
huruf tersebut muncul pertama kali dan bukannya huruf lain yang dikandung kata
tersebut. Karena proses abstraksi ini, singkatan menjadi mudah dimultitafsirkan.
Satu huruf pe saja bisa berarti parkir, Perancis, perempuan, zat fosfor, pulmonologi,
partikel, dan tanda nomer kendaraan karesidenan Besuki: masing-masingnya
dimaknai sesuai konteksnya.
Perbedaan
antara penggunaan huruf besar dan huruf kecil dalam singkatan ini dapat
dimanfaatkan untuk menyatakan hal-hal yang berbeda pula, meskipun jika dibaca
huruf per hurufnya akan terdengar sama saja. Misalnya, singkatan Dr. dan dr., yang
sering kali keliru dituliskan, merujuk pada dua gelar yang berbeda. Kependekan Dr.
dengan huruf de besar merujuk pada gelar doktor (S3), sementara dr. dengan huruf
de kecil merujuk pada pekerjaan dokter. SD bermakna Sekolah Dasar, s.d.
bermakna sampai dengan.
Beberapa ragam lambang HmI yang ditemukan di mayantara |
Himpunan
Mahasiswa Islam adalah salah satu contoh yang menarik. Singkatan dari
perhimpunan ini umumnya ditulis HmI (huruf ha besar, huruf em kecil, dan huruf
i besar). Hal ini agak melenceng dari pakem penulisan singkatan yang benar menurut
PUEBI. Namun, mereka ternyata memiliki alasan yang cukup bagus. Dari salah satu
tulisan oleh Mashuri Mashar dalam buku Keluarga Bahagia: Sembilan Memoar
Luka Keluarga Indonesia didapati catatan kaki yang mendedah perihal ini. Ia
menuliskan bahwa alasan di balik huruf em kecil tidaklah dimaksudkan sebagai peyorasi,
melainkan untuk mempertegas kedudukan mahasiswa yang lebih kecil maknanya
daripada kata Himpunan dan Islam yang lebih besar. Hal seragam juga dituturkan lewat
dokumen terunggah di Scribd berjudul Arti Lambang HMI oleh Dedi
Muzlahinur. Dalam dokumen sehalaman itu didapati bahwa keputusan ejaan HmI
dalam lambang ciptaan Ahmad Sadali ini bermakna kerendahan hati mahasiswa
dan mahasiswi anggota HmI. Sementara itu, dilansir dari blog HMI Komisariat Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara bahwasanya dibuatnya huruf em yang
kecil ini dalam rangka membedakan bentuk terikat maha- dari mahasiswa dengan maha-
dari Mahanya Tuhan. Menarik sekali. Namun, soal huruf besar dan huruf kecil ini tidak hanya
sampai di sini.
Praktikus
grafologi, misalnya, menafsirkan mereka yang menuliskan huruf i kecil (bahasa
Inggris: saya) sebagai orang-orang yang kurang percaya diri, minder, dsj.,
sedangkan mereka yang menuliskan huruf i besar adalah mereka yang percaya diri,
memiliki ego mantap dsj. Lain lagi dengan ilmuwan dan budayawan yang tertarik
dengan bab perikemanusiaan. Mereka membedakan Humanisme dengan huruf ha besar
dan humanisme dengan huruf ha kecil. Nuansa ini diciptakan untuk membedakan dua
hal, yakni gerakan humanisme yang terorganisasi dengan yang perseorangan; dan
filsafat humanisme sekuler dengan humanisme di luar itu. Humanisme dengan huruf
ha besar berarti humanisme yang diusung oleh organisasi lintas negara,
sedangkan yang berhuruf ha kecil berarti humanisme yang disokong dan diterapkan
secara perseorangan. Di sisi lain, karena kalangan agamawi seringkali
menjahat-jahatkan humanisme sekuler, maka kelompok penyokong humanisme sekuler ini
memutuskan untuk menggugurkan kata sekulernya. Mereka tidak mengubah kata
humanisme itu sendiri, kecuali hanya dengan mengapitalisasi huruf pertama pada
kata Humanisme. Walhasil, kelompok humanisme sekuler telah menciptakan
pembeda tersendiri yang menyekat mereka dari pancaragam humanisme lainnya. Begitu pula dengan penyebutan tuli. Tuli dengan huruf te besar dan tuli dengan huruf te kecil memiliki arti yang berlainan. "Huruf t kecil direpresentasikan sebagai orang yang mengalami
keterbatasan pendengaran, sedangkan huruf T kapital adalah cara
berkomunikasi," ujar Koordinator Media di Sasana Inklusi dan Advokasi
Difabel atau SIGAB, M. Ismail (Sebab Menulis Kata Tuli Harus Diawali Huruf Kapital, Tempo).
Dunia
hukum dalam negeri memiliki peristiwa kebahasaan yang serupa. Dalam undang-undang
kita, huruf besar dan huruf kecil dapat membuat perbedaan penafsiran yang besar
sekali. Pemerintahan dengan huruf pe besar dan pemerintahan dengan huruf pe
kecil menunjuk dua makna yang berbeda. Peristiwa ini mencuat setelah kabar gonjang-ganjing
mengenai hak angket DPR yang ditujukan untuk KPK tahun 2017 lalu. Semua orang
ribut berdebat apakah KPK merupakan lembaga pemerintahan yang bisa dikenakan
hak angket anggota DPR. Dua pendapat penting yang umumnya digemakan adalah dari
Prof. Yusril Ihza Mahendra dan Prof. Mahfud M.D.
Yusril
berpendapat, “Pasal 79 dari UU MD3 menyatakan bahwa angket itu adalah
pelaksanaan fungsi DPR dalam hal melakukan pengawasan, dan angket itu
dilaksanakan untuk menyelidiki pelaksanaan sebuah Undang-Undang dan/atau
kebijakan Pemerintah, huruf pe besar menandakan pemerintah dalam artian yang
luas, huruf pe kecil menandakan pemerintah dalam arti sempit (Presiden ke
bawah), huruf besar dan huruf kecil itu beda arti.” Berkebalikan dengan itu, Mahfud
menjelaskan “kalau kata 'Pemerintah' ditulis dengan huruf pe besar itu artinya
Presiden, sama halnya dengan GBHN kalau ditulis dengan huruf besar itu artinya
TAP MPR No.4, tetapi kalau ditulis dengan huruf kecil itu artinya semua
ketetapan MPR” terang Mahfud. Hal ini didasarkan pada kebiasaan seperti yang
sudah-sudah, misalnya penyebutan Pemerintah pasti mewakili Presiden. Ini
tercantum dalam Undang-Undang MD3 bahwa Pemerintah adalah Presiden, Wakil
Presiden, Jaksa Agung, Para Menteri, Kapolri, dan lembaga non-departemen. Oleh
karena itu, Mahfud meyakini bahwa KPK bukanlah subjek maupun objek dari hak
angket DPR.
Tidak
melulu yang berat seperti berkas hukum dan sejenisnya, hal-hal yang sangat
dekat dengan kita seperti budaya obrolan daring juga cukup rawan dalam hal
penggunaan huruf besar dan huruf kecil. Caps
lock jebol adalah istilah populer yang lahir dari gagasan tentang tulisan
yang keseluruhannya disetel dalam huruf besar. Meskipun pesan harfiah yang
ingin disampaikan sama persis, tetapi setelan huruf besar semua ini akan memberikan
nuansa makna non-bahasa seperti sedang berteriak, meminta perhatian, marah atau
malah mengganggu terhadap para pembacanya. Dua akun Twitter terkenal yang
senantiasa istikamah bercuit dalam mode 100% huruf besar, yakni Bambang Widodo
(@pembimbingutama) dan Imam Supriadi (@ImamSupriadiBPK). Cuitan-cuitan keduanya
selalu berhuruf besar sehingga memberikan tekanan emosi tertentu bagi
pembacanya, seperti kebencian, marah, geram, gusar, yang sebenarnya bertabrakan dengan isi
cuitannya sendiri yang banyol lagi konyol.
Dalam
sejarah aksara Rumi, huruf besar dan huruf kecil sejatinya berasal dan berkembang dari
dua wilayah yang berbeda di Eropa sana, kemudian dipersatukan untuk kemudian digunakan
secara bersamaan. Tak lama kemudian ia dibaca sebagaimana sekarang Anda lakukan. Tidak semua aksara di dunia memiliki perpaduan aksara seperti
ini; aksara Korea, Arab, India umumnya tidak mengenal jenis huruf besar dan
kecil selayaknya aksara Rumi/Latin. Cara menyampaikan kesopanan, rasa hormat, kerendahan
hati, amuk dan selisih nuansa makna lainnya harus ditempuh dengan cara yang
berbeda pula. Hal ini sesungguhnya menguntungkan, dengan semakin banyaknya
perbedaan yang dapat dinyatakan, maka semakin kaya pula makna yang bisa
disampaikan.
0 komentar:
Posting Komentar