Jika dibandingkan dengan aksara Latin Indonesia yang sedang
Anda baca sekarang ini, aksara Jawa tergolong lebih rumit. Selain disebabkan bentuk
huruf-hurufnya yang mirip-mirip satu sama lain sehingga proses dekode menjadi
lebih sukar, aksara Jawa punya kerumitan lain. Aksara Jawa memiliki
aturan-aturan pelik yang memiliki pengecualian-pengecualian yang istimewa pada pertemuan-pertemuan tertentu. Salah dua pengecualian itu adalah Pa Cerek dan Nga Lelet.
Sebelum membahas mengenai dua hal istimewa ini, alangkah baiknya
sekilas kita mengenal tata tulis aksara Jawa. Aksara Jawa berbeda dengan aksara
Latin. Aksara Jawa terkelompok dalam golongan tata tulis abugida, masih sekeluarga
besar dengan aksara-aksara India dan aksara Thai; dan bahkan bisa dikatakan masih
sesaudara jauh dengan aksara Hangul asal semenanjung Korea. Aksara abugida
memiliki ciri-ciri kesukukataan alias silabis, yakni satu huruf terdiri dari
satu suku kata. Suku kata terdiri dari bunyi konsonan dan bunyi vokal. Misalkan
untuk menuliskan kata Ja-wa dalam
aksara Jawa hanya membutuhkan dua huruf, sementara membutuhkan empat huruf pada
aksara Latin. Untuk menciptakan bunyi hidup yang berbeda-beda, umumnya
dilakukan dengan menambah tanda tertentu pada huruf, mirip seperti huruf Arab pada Alquran. Lihat contoh untuk
menuliskan kalimat, "kang koki ke kakek Kukuh" seperti di bawah ini. Huruf ka ditambah
dengan harakat tertentu sehingga memiliki bunyi yang diinginkan.
Pa Cerek dan Nga Lelet adalah simpangan yang diterima secara umum sebagai salah satu kaidah pakem dalam ortografi aksara Jawa. Pa Cerek dan Nga Lelet adalah aksara ganten yang berperan mengganti kasus pertemuan aksara dan sandhangan tertentu. Pa Cerek adalah aksara pengganti untuk bunyi re seperti pada kata bahasa Indonesia "karena" atau "remaja." Kalau biasanya, untuk menuliskan suku kata dengan konsonan ra hanya tinggal menambahkan sandhangan swara sehingga berbunyi ra ri ru re atau ro. Namun khusus suku kata dengan huruf ra plus pepet (sandhangan pembentuk suara /ə/), hurufnya berganti menjadi huruf Pa Cerek. Pa Cerek memiliki pasangan yang juga serupa dengan pasangan huruf pa pada umumnya, tetapi dibubuhi jumbai pada bagian bawahnya.
Sementara itu Nga Lelet berkenaan dengan huruf la. Nga Lelet
adalah huruf khusus untuk menggantikan aksara la yang bertemu dengan sandhangan
swara pepet, contohnya jika dalam bahasa Indonesia adalah bunyi le pada kata
"lelaki" atau "lebur." Aksara pengganti untuk ini adalah
huruf nga dengan pasangan na. Namun kedua gabungan itu tidak dibaca sebagaimana
huruf nga dan pasangan na bertemu, melainkan dibaca sebagai le. Berbeda dengan
Pa Cerek, Nga Lelet tidak mempunyai ragam pasangan sehingga hanya dapat terjadi
apabila suku kata sebelumnya adalah suku kata terbuka/tidak berakhir dengan
konsonan.
Contoh di bawah ini menjelaskan bentuk asli dan bentuk pasangan dari huruf Pa Cerek. Sedangkan untuk huruf Nga Lelet hanya memiliki bentuk asli saja, tanpa bentuk pasangan yang khusus. Contoh pertama Pa Cerek bertuliskan "arep adang" dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi "akan menanak," dan contoh kedua berbunyi "mangan rempela" yang artinya "makan ampela." Untuk contoh Nga Lelet bertuliskan "masku lemu" yang artinya "abangku gendut," dan yang kedua berbunyi "adol lemah" yang berarti "menjual tanah."
Dari wawancara dengan bapak Wijotohardjo, pengawai bagian
redaksi majalah mingguan bahasa Jawa Panjebar Semangat, Pa Cerek dan Nga Lelet
mengandung makna falsafi kehidupan orang Jawa. Beliau menuturkan pada sebuah intermeso, bahwa Pa Cerek
harus menggantikan huruf ra ketika bertemu dengan pepet sebab ra itu mewakili
rasa. Rasa tidak boleh ditutupi, melainkan harus diungkapkan. Rasa yang
ditutupi hanya terjadi apabila nyawa tidak dikandung badan. Rasa dalam hal ini—penulis tafsirkan—tidak hanya mengenai emosi dan penginderaan saja, melainkan meliputi pendapat,
hati dan sikap batin yang terjadi dari dalam diri. Rasa apabila sudah ditutup,
maka hidup juga ditutup. Selama masih memiliki hidup, maka rasa harus terus
berlanjut. Itulah mengapa baik didahului akhiran suku kata vokal atau konsonan,
Pa Cerek harus terus ada.
Hal berbeda terjadi untuk Nga Lelet. La dengan pepet
mewakili kata lawang. Lawang atau dalam bahasa Indonesia pintu, adakalanya
harus ditutup dan adakalanya harus dibuka. Pintu di sini dapat kita tafsirkan tidak hanya sebagai celah tempat keluar masuk dari dan ke dalam suatu ruangan, melainkan juga dapat ditafsirkan keterbukaan diri, ada saatnya bersikap terbuka dan ada saatnya menahan diri. Itulah mengapa huruf Nga Lelet tidak
perlu digunakan jika suku kata sebelumnya ditutup dengan konsonan. Pada kasus
tersebut, Nga Lelet berganti lagi menjadi bentuk asalnya yaitu pasangan huruf la dan sandhangan swara pepet. Untuk lengkapnya lihat contoh sebelumnya.
Pa Cerek dan Nga Lelet adalah dua contoh sederhana dari
falsafah hidup orang jawa yang dimaknai dari aksara Jawa dan kaidahnya. Tentu
selain yang dua itu, terdapat banyak sekali pelajar hidup orang Jawa lainnya
yang dapat kita hayati bahkan hanya dari sebentuk aksara.
_____________________________________________
Wawancara dilakukan dengan bapak Wijotohardjo selaku staf redaktur pada tanggal 13 April 2017 di kantor Panjebar Semangat, Bubutan, Surabaya. Beliau adalah pegawai terlama di Panjebar Semangat yang masih giat bekerja hingga sekarang.
Dalam artikel ini, ditampilkan aksara Jawa dengan fontasi Nawatura karya Aditya Bayu. Dapat disaksikan di https://www.behance.net/gallery/45981265/Javanese-font-Nawatura