Jumat, 14 Oktober 2016

Antara Dubai dan Yogyakarta: Esai Tentang Huruf yang Berkompromi

Sebuah pesan pernah sampai kepada saya beberapa tahun silam. Saya tidak ingat pasti melalui media apa, entah Google Mail, pesan Facebook, Twitter atau pesan langsung dari situs berbagi fontasi gratis. Yang saya ingat betul adalah: ia, kemungkinan besar dari negara di Eropa atau Amerika Serikat, meminta izin untuk memakai fontasi saya yang lir-Arab (menyerupai aksara hijaiah). Ada yang menarik perhatian saya kala itu. Ia bertanya, kurang lebih kalau diterjemahkan seperti ini, “Saya rencananya akan mencetak fontasimu di kaos, yang akan saya pakai selama melancong ke Dubai bersama pacarku. Tapi pacarku mencegahku melakukannya, sebab katanya hal itu (menggunakan tipografi yang menyerupai aksara hijaiah) tergolong melecehkan kebudayaan Arab.” Saya waktu itu memang merenung sejenak, akan tetapi tidak terlalu lama; kemudian saya membikin kesimpulan dini yang menyatakan bahwa hal itu oke-oke saja.

Beberapa tahun kemudian, ada yang ditunggu-tunggu banyak orang Jawa atau pemerhati kejawaan. Kongres Bahasa Jawa Ke-6 akan diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 8-12 November 2016. Hajatan akbar tiap lima tahunan ini intinya akan membahas seluk-beluk bahasa dan budaya Jawa. Saya jadi ingat seseorang pernah menulis di blog bahwa udara muram selalu mewarnai di pelbagai kongres bahasa daerah, sebab kita semua tahu bahwa bahasa daerah adalah bahasa yang paling diujung tanduk; terdesak oleh bahasa Indonesia di dalam negeri dan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, di taraf dunia.

Kebetulan sekali, lambang KBJ ke-6 tersebut diolah oleh perancang grafis pihak panitia menggunakan fontasi lir-Jawa (meniru bentuk aksara Jawa) saya yang terbaru, yakni Upakarti. Upakarti adalah pengembangan dan perbaikan dari fontasi lirjawa sebelumnya, yaitu Kemasyuran Jawa. Tidak dinyana, hal ini menimbulkan banyak tanggapan dari sejumlah pihak pemerhati kebudayaan Jawa. Seperti pacar seseorang yang hendak pergi ke Dubai tadi, orang-orang tersebut ternyata memang “tersinggung” dengan rancangan fontasi Latin yang meniru-niru lekuk tubuh aksara Jawa yang sebenarnya. Lantas ini memang menimbulkan pertentangan, kongres bahasa Jawa kok tidak memakai bahasa dan aksara Jawa. Saya pun setuju dengan itu. Maka dari itu, muncullah keluaran lambang KJB ke-6 yang telah diaksarajawakan; bikinan salah seorang penggiat yang menyadari bahwasanya ada yang keliru dengan hal tersebut.



Perenungan saya ternyata belum selesai. Setelah bertahun-tahun dianggap usai, saya kembali memikirkan perihal ini. Apakah fontasi atau rupa tipografi Latin yang meniru-niru bentuk aksara lain, Jawa atau Arab misalnya—atau sebaliknya[?]—tergolong kurang etis, kurang mengindahkan kesusilaan atau tata krama yang berlaku di suatu lingkungan budaya?

Hal ini menjadi penting bagi saya, sebab, selama saya berkarya di dunia rancang-merancang huruf, saya sering sekali menciptakan rupa-rupa huruf Latin yang mengambil raut muka aksara Arab, terutama, Jawa, Ibrani, Jepang, Korea dan bahkan Tagalog. Hal ini yang saya lakukan berkali-kali, dan saya tidak bermaksud bergesekan dengan gagasan atau nilai masyarakat mana pun.

Saya bukanlah yang pertama melakukannya. Pengalihrupaan antaraksara di dunia sudah dilakukan sejak berdasawarsa silam. Bisa dibilang contoh di dunia Barat yang paling kentara adalah desain huruf lir-Ibrani. Pada masa-masa itu kebudayaan Yahudi benar-benar menjadi perhatian, yakni sebagai minoritas yang perkasa, dan kemudian menjadi minoritas yang dibasmi. Dalam pergolakan seperti itu, produksi desain bernuansa Yahudi menjadi berlimpah, selaras dengan gagasan-gagasan yang dicoba untuk disebarluaskan.



[1] Börries von Münchhausen, Juda; dirancang oleh Ephraim Moses Lilien. Berlin, 1900. [2] Ex Libris - Oscar Porges. Dari sebuah ilustrasi pada halaman muka buku katalog Pra-Perang Dunia Kedua. Jerman, 1920-an [3] Peta Tel Aviv Erez Israel pada masa awal pendudukan Palestina, 1930-an. Sangat unik, sebab huruf Ibrani asli disandingkan dengan huruf Latin lir-Ibrani. [4] Wir wählen Hindenburg! Wir wählen Hitler! Schau dir diese kopfe an, und du weißt wohin du gehörst! Berlin, 1932. Sebuah poster ajakan untuk mendukung Hitler. [5] Poster propaganda yang menerangkan kesenjangan sosial di Belanda. Ketika itu kaum Yahudi menguasai ekonomi di Eropa, 1940. [6] A Treasure For My Daughter Jewish Cookbook 1969. Buku tentang masakan dan tata cara perayaan Yahudi ini diterbitkan oleh Hawthorn Books. Saya harus berterimakasih kepada Avi Bohbot karena terlah menghimpun contoh-contoh apik rancangan lir-Ibrani [Faux-Hebrew Typefaces] tersebut di Pinterest sehingga mudah dijangkau.

Sementara itu di Indonesia, penggunaan jenis huruf liran (lirjawa, lirarab, liribrani, dst.) ini banyak dijumpai dalam lingkup kebudayaan Jawa. Hal ini dapat dimengerti karena suku Jawa adalah suku dengan penutur terbanyak di Indonesia. Dengan hal itu dapat disangkakan bahwa masyarakat Jawa juga banyak menghasilkan karya-karya kebudayaan. Berikut ini contoh-contoh buku dan koran yang menggunakan rancangan huruf Latin yang menyerupai aksara Jawa.



[1] Imam Supardi, Tekad Wadja. Sumber Kemadjuan Rakjat. Penerbit Panjebar Semangat. Surabaya, 1955. [2] karya Imam Supardi, Dewa Rutji Winardi . Penerbit Panjebar Semangat, Surabaya, 1960. wayangpustaka02.wordpress.com [3] Ungkapan dan Hukum Karma dalam Bharata Yuda oleh Heroesoekarto. Diterbitkan oleh Grip, 1961. bukuwayang.wordpress.com [4] Koran mingguan berbahasa Jawa “Kumandang”. Jakarta, 1977. antiknjadul.blogspot.kr [5] Ramayana oleh Sunardi D.M. Balai Pustaka, 1979.
bukuwayang.wordpress.com [6] Bima Suci oleh R. Tanaya. Balai Pustaka, 1979.
bukuwayang.wordpress.com [7] Sumbadra Larung oleh Sunardi D.M. Balai Pustaka, 1987.
bukuwayang.wordpress.com [8] Ringkasan Centini (Suluk Tambanglaras). Balai Pustaka, Jakarta, 1981 Grafis: Budiono [9] Centhini: Tambangraras – Amongraga. 1991, Balai Pustaka dan Universitas Gadjah Mada.

Selain contoh-contoh media cetak di atas, juga ada beberapa contoh pengguanaan tipografi Latin yang menyerupai huruf Jawa pada lambang lembaga, perusahaan atau kelompok tertentu. Seperti yang bisa dilihat di bawah ini, merupakan contoh lambang Universitas Sebelas Maret Surakarta, Mustika Ratu dan Hiphopdiningrat [kelompok musik beraliran Hip Hop yang menggunakan bahasa Jawa].


Ada pula contoh yang berkaitan dengan budaya Tionghoa Indonesia, pada gambar dua koran di bawah ini, yaitu Sin Po dan Keng Po. Nama koran pada keduanya ditulis dengan meniru fitur-fitur ketampakan kaligrafi Tiongkok; seakan-akan huruf-hurufnya ditulis menggunakan kuas oleh seorang kaligrafer Tionghoa. Dan yang istimewa, di sekitarnya masih terdapat tulisan Tionghoa asli yang beraksara Hanji [ingat sebelumnya pada peta Tel Aviv yang menggunakan huruf Latin dan Ibrani secara bersamaan]. Hal ini seperti hendak berkata, “Bagi yang bisa baca huruf Cina silakan membaca ini, dan bagi yang tidak bisa, silakan membaca yang itu.”


Keduanya adalah koran berbahasa Melayu [terdapat juga terbitan berbahasa Belanda], namun demikian kebanyakan pembacanya berasal dari kalangan Tionghoa peranakan. Hal ini menjadi sangat unik, mengapa surat kabar tidak disediakan khusus dalam bahasa dan aksara Tionghoa saja? Menurut hemat saya, hal ini dilakukan untuk memperluas pasar pembaca. Selain tidak perlu risau akan nuansa antardialek Tionghoa [Hokkian, Kanton, dll.], juga dapat dinikmati oleh kalangan non-Tionghoa di Indonesia yang mampu berbahasa Melayu. Pertanyaan selanjutnya adalah, apabila berbahasa Melayu, mengapa logotipe dirancang menggunakan nama dan gaya tipografi Tiongkok? Pada masa itu umumnya masyarakat Tionghoa terbelah menjadi dua: yakni mereka yang mendukung nasionalisme Indonesia dan mereka yang mendukung nasionalisme Tiongkok. Dua rancangan logotipe Sin Po dan Keng Po ini dapat ditafsirkan sebagai kompromi jati diri orang Tionghoa pada masa itu. Huruf Latin dan bahasa Melayu menandakan nasionalisme Indonesia. Sedangkan karakter Hanji dan model tipografi kuas menandakan tradisi Tionghoa. Mereka adalah bagaimana pun berasal dari Tiongkok, namun hidup dari dan untuk Indonesia.

Perbedaan contoh-contoh di atas terletak kepada kalangan sasarannya. Jikalau kita menengok ke contoh-contoh rancangan lir-Ibrani dan lir-Tionghoa di atas, keduanya diperuntukkan bagi non-penutur; oleh sebab itu ditulis dalam bahasa dan aksara yang berbeda dengan kesan asal-kebudayaan yang diinginkan. Contoh rancangan lir-Ibrani di atas ditulis dalam bahasa Inggris, Jerman dan Belanda; sesuai dengan sasaran masyarakat yang dituju untuk menyampaikan sesuatu ihwal keyahudian. Sementara itu, dua koran Sin Po dan Keng Po, tersedia dalam bahasa Melayu, meskipun dibaca luas oleh masyarakat Tionghoa juga. Sebaliknya, contoh-contoh lir-Jawa di atas ditulis dalam bahasa Jawa yang artinya oleh dan untuk masyarakat Jawa sendiri.

Poster edaran untuk menghimbau masyarakat agar berbahasa Jepang

Hal tersebut dapat ditilik dari sejarah bahasa dan aksara Jawa. Pada zaman Belanda, bahasa dan aksara Jawa memiliki tempat sederajat dengan bahasa Belanda yang berhuruf Latin dan bahasa Melayu yang berhuruf Jawi atau Latin. Semua berubah dengan mengejutkan pada zaman penjajahan Jepang. Pada zaman tersebut, bahasa yang boleh digunakan hanyalah bahasa Melayu [bahasa Indonesia] dan Jepang; dan itu artinya adalah kemunduruan bagi bahasa dan sastra daerah. Buku-buku berbahasa dan beraksara Jawa [juga kebudayaan daerah lainnya] berhenti di zaman tersebut; seakan-akan serdadu Nipon telah memenggal putus keragaman budaya daerah. Padahal, penjajahan Jepang hanya berlangsung selama tiga tahun di Indonesia, bandingkan dengan 35 tahun penjajahan Jepang di Korea. Akan tetapi, kekerasan budaya memang terjadi pada tahun-tahun penghujung cengkeraman penjajah Jepang di Asia. Seperti halnya di Indonesia [kala itu Hindia Belanda], Jepang juga melarang keras penggunaan bahasa dan aksara Korea sampai tumpas. Perbedaannya adalah bahasa dan aksara Korea berhasil sintas sampai sekarang; sedangkan bahasa dan aksara Jawa, yah, bisa dibilang sedang megap-megap. Saat ini, kalau hendak mencari buku berbahasa Jawa dan beraksara Jawa sudah pasti tercetak dengan tahun terbit sebelum penjajahan Jepang. Ada keterangan sejarah yang hilang dalam kurun waktu tersebut, mengapa begitu cepatnya menghentikan dan menghilangkan aksara Jawa dari bumi Nusantara; kemungkinannya antara lain karena teknologi percetakan aksara Jawa pergi bersama perginya penjajah Belanda atau memang penjajahan Jepang sudah kepalang bengisnya, hingga berhasil memberangus suatu budaya.

Alhasil, bahasa Jawa agaknya berhasil lebih sintas melalui budaya lisan, namun mulai terpisah dari aksaranya. Bahasa Jawa kemudian mulai ditulis dengan aksara Latin yang secara tidak langsung juga menjadikan aksara Jawa terasa asing bagi bahasa dan penuturnya sendiri. Penerbitan dan media cetak bahasa Jawa pasca-kemerdekaan Indonesia yang bertahan—tidak tampak kejawaannya apabila nama atau judul terbitan ditulis begitu saja dalam patron huruf Latin biasa. Oleh karena itu, muncullah gagasan untuk membentuk sebuah kompromi, sebuah rancangan huruf Latin baru, yang meniru lekuk tubuh aksara Jawa; sehingga dua kepentingan bertemu, yakni aksara Latin yang lebih dipahami banyak orang [atau alasan ketidaktersediaan peralatan cetak yang mendukung penulisan Jawa] dan kesan kejawaan yang masih dapat ditonjolkan secara rupawi. Hal ini dianggap berhasil membawa pesan dan kesan yang diinginkan kepada pembaca, sehingga produksi desain huruf lir-Jawa tersedia cukup melimpah di peredaran.

Saya nukil dari Historia.id dalam artikel Nafas Sang Kalawarti. Moechtar, mantan pemimpin redaksi Panjebar Semangat, satu di antara tiga majalah bahasa Jawa yang bertahan, pernah berbincang dengan George Quinn, seorang peneliti budaya dan sastra Jawa dari Universitas Nasional Australia. Ia bertanya padanya apakah Panjebar Semangat akan ikut mati bersama matinya pembaca generasi tuanya, dia menjawab: “Saya tetap optimis. Setidaknya suatu hari nanti generasi muda akan mencari jati dirinya dan beberapa menemukannya di Panjebar Semangat.”

Kalau kita betul beruntung, insya Allah, ucapan [atau ramalan] bapak Moechtar tersebut sudah mulai kelihatan benarnya. Kelompok-kelompok penggemar dan pemerhati budaya Jawa yang tersebar mulai dari tarian, musik hingga sastra telah bermunculan, terhubung dan berhimpun. Setidaknya itu yang terlihat di dunia maya. Bahkan ada suatu kelompok daring di Facebook yang mengkhususkan diri untuk mempelajari dan menyebarluaskan aksara Jawa. Dari kelompok itulah muncul keluaran lambang tandingan berkasara Jawa sejati Kongres Bahasa Jawa Ke-6 yang akan dihelat bulan depan di Yogyakarta.

Produksi desain huruf liran sesungguhnya terbebas dari persoalan etis dan tidak etis. Keterikatan pada nilai-nilai tersebut sesungguhnya berada pada ranah tipografer, atau pengguna dari sebuah desain huruf yang sekaligus pencipta dari sebuah produk grafis. Tipografer, bersama dengan penyunting tentunya, diharuskan untuk mengerti siapa sasaran yang dituju, sehingga penggunaan fontasi liran dapat dibatasi hanya untuk menyasar khalayak non-penutur agar mendapatkan kesan kebudayaan yang dimaksudkan. Mengingat, Surianto Rustan seringkali menggunakan istilah 'hormati pembaca' pada bukunya Huruf, Font dan Tipografi. Hanya saja dalam kasus bahasa dan aksara Jawa, permasalahannya agak sedikit ... rumit.

Syahdan, pacar dari pria yang hendak pergi ke Dubai bersama-sama itu berarti ada benarnya. Saya harap si pria yang bertanya kepada saya beberapa tahun lalu itu tidak benar-benar membikin kaos dari desain huruf lir-Arab buatan saya; dan berjalan-jalan di tengah kota Dubai sebagai pelancong. Kalau-kalau iya, mungkin bakal ada seorang Arab mencegatnya, dan bertaka, “Astaghfirullah, copot kaosmu! N****!

1 komentar:

  1. Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai sastra
    Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis yang bisa anda kunjungi di
    Lembaga Pengembangan Sastra

    BalasHapus